Kamis, 03 Desember 2009

Menangkap Makna Spiritual Haji

Oleh: Rizky Hikmawan

Tidak terasa telah satu bulan lebih Ramadhan meninggalkan kita, kini musim haji tahun 1426 H telah bergulir di depan mata. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, Negara kita kembali memberangkatkan ratusan jemaah yang berasal dari berbagai macam daerah. Ibadah haji, seperti yang kita ketahui, merupakan Rukun Islam ke-5 dan hanya ditujukan bagi mereka yang mampu. Kita harus menyadari bahwa sesungguhnya pelaksanaan ibadah haji sungguh sangatlah berat karena membutuhkan persiapan yang matang, mulai dari fisik, mental, sampai materi.

Jadi sesungguhnya dalam melaksanakan haji kita tidak boleh main-main mengingat beratnya persiapan tersebut. Tetapi insyaAllah dengan niat yang ikhlas dan atas dasar iman kepada Allah Swt. semua halangan akan mudah untuk dilalui. Lalu apakah haji itu sebenarnya? Apakah hanya sekedar ‘jalan-jalan’ ke Baitullah (rumah Allah Swt.)? Atau ada makna lain yang tersembunyi? Untuk itu penulis akan mencoba untuk menangkap makna sesungguhnya dari pelaksanaan haji yang tentunya sebatas pengetahuan dan pemahaman penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritikan dan masukan apabila ada uraian yang dirasa oleh rekan-rekan kurang ataupun tidak tepat.

Sebelum membahas lebih jauh, penulis ingin mengingatkan bahwa sesungguhnya ada dua dimensi dalam pelaksanaan haji, yaitu: dimensi vertikal (Hablumminallah) dan dimensi horizontal (Hablumminannas). Haji, jika kita lihat dari tata cara pelaksanaannya, merupakan suatu rangkaian pengulangan sejarah dari tiga anak manusia dalam upaya mereka mencapai tauhid. Mereka itu adalah Nabi Ibrahim as, Nabi Ismail as, dan Siti Hajar (istri kedua Nabi Ibrahim as dan ibunda Nabi Ismail as). Sekarang penulis akan mencoba merunutkan arti penting dari rukun haji.

Makna Ihram
Sebelumnya, pernahkah anda bertanya mengapa kita diwajibkan untuk memakai pakaian ihram pada waktu haji? Lalu mengapa pakaian ihram tersebut tidak boleh dijahit? Dan mengapa harus berwarna putih serta terbuat dari bahan yang sama? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka kita harus merujuk kepada salah satu firman Allah Swt. yang menyatakan bahwa sesungguhnya manusia diciptakan dengan status yang sama yakni sebagai khalifah di bumi (QS. 6:165, QS. 10:14) dan sesungguhnya yang membedakan manusia dihadapan Allah Swt. adalah iman dan taqwa (QS. 49:13). Dengan memakai ihram, maka manusia dibebaskan dari status-status yang bersifat duniawi. Kita tidak akan pernah tahu siapa saja yang sedang berhaji ketika itu, mungkin ada pengusaha, artis, atau mungkin pejabat diantara kita karena ketika kita berhaji, maka satu-satunya status yang melekat pada diri kita adalah sebagai hamba Allah Swt., tidak lebih.

Makna lain yang terkandung dalam pemakaian pakaian ihram adalah sesungguhnya kita menghadap Allah Swt. dalam ketelanjangan. Itu sebabnya kita dilarang untuk menjahit ihram. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa kita datang menghadap Allah Swt. dalam ketelanjangan? Sebenarnya hal tersebut merupakan perumpamaan dimana kita diminta untuk menghadap Allah Swt. dengan apa adanya, tidak terjebak oleh materi-materi duniawi, seperti pakaian sehari-hari yang, kembali, dapat melekatkan kita kepada status yang ada di dalam masyarakat.

Selain itu, pernahkah anda menyadari bahwa dengan memakai ihram, sesungguhnya kita diingatkan bahwa kehidupan di dunia ini tidaklah abadi, melainkan hanya senda gurau belaka (QS. 29:64). Dalam hal ini, pakaian ihram dianalogikan sebagai kain kafan yang setiap saat dapat membalut tubuh kita. Untuk itu kita harus menyadari benar konsep inna lillahi wa inna ilaihi raji’un yang mengandung arti bahwa kita semua adalah makhluk ciptaan Allah Swt. dan kepada-Nyalah kita akan kembali.

Pemaparan di atas merupakan makna dari ihram apabila ditinjau dari dimensi yang pertama, yaitu dimensi vertikal. Lalu apakah makna ihram apabila dilihat dari dimensi yang kedua, yaitu horizontal? Sesungguhnya, makna yang terkandung sangatlah sederhana yaitu kita diminta untuk menanggalkan segala kepalsuan dan diminta untuk senantiasa bertindak apa adanya. Salah satu budaya negatif dari masyarakat Indonesia yang mengandung unsur kepalsuan tersebut adalah budaya hipokrit atau mungkin kita lebih mengenalnya dalam kalimat asal bapak senang (ABS). Hipokrit atau munafik, merupakan suatu sikap dimana kita melegalkan kedustaan demi tercapainya keinginan pribadi. Sebagai contoh, kita sering mendengar seseorang memuji atasannya demi kenaikan pangkat, bukan karena atasannya memang layak untuk dipuji karena kepribadiannya ataupun etos kerjanya.

Di samping itu, dengan memakai pakaian ihram kita disadarkan untuk melepaskan diri dari kesombongan, klaim superioritas, maupun ketidaksamaan derajat atas manusia yang lain. Oleh karena itu, kita diharuskan agar senantiasa berbuat baik serta mengedepankan sikap untuk saling menghormati dengan sesama. Apabila hal ini dapat terwujud, maka cita-cita akan perdamaian, toleransi, ataupun kerukunan masyarakat akan lebih mudah untuk direalisasikan.

Makna Thawaf
Thawaf merupakan rangkaian dari ibadah haji dimana kita diharuskan untuk mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali. Pada hakekatnya, pelaksanaan thawaf dapat diartikan sebagai tindakan meniru perilaku alam semesta yang senantiasa ‘berdzikir’ kepada Allah Swt. Dengan mempelajari ilmu pengetahuan alam, kita dapat mengetahui bahwa sesungguhnya benda-benda alam senantiasa bergerak. Gunung yang besar dan kokoh ternyata bergerak (bergeser), bulan bergerak dengan mengelilingi bumi, bumi bergerak dengan mengelilingi matahari, dan mataharipun bergerak mengelilingi pusat dari gugusan-gugusan bintang yaitu galaksi bima sakti (milky way) atau yang kita kenal dengan sebutan black hole. Inilah makna thawaf dalam dimensi vertikal, yaitu penegasan bahwa sesungguhnya kita merupakan bagian dari alam semesta yang tunduk dan patuh kepada Sang Pencipta, yakni Allah Swt. dan diharuskan untuk senantiasa mengingat-Nya.

Dalam dimensi horizontal, kita diminta untuk senantiasa hidup dengan penuh keteraturan seperti keteraturan gerak benda-benda alam raya. Bayangkan apabila gerakan yang dilakukan oleh benda-benda tersebut tidak teratur, tentunya akan mengakibatkan chaos (suatu keadaan dengan penuh ketidakteraturan) yang tentunya dapat membawa kehancuran kepada benda-benda alam itu sendiri. Sama halnya dengan benda-benda alam tersebut, manusia juga dapat mengalami kehancuran apabila tidak hidup dalam keteraturan karena dapat memicu konflik. Keseimbangan hidup, itulah kunci agar kita dapat hidup dalam keteraturan, ingat, alam raya diciptakan juga atas dasar konsep keseimbangan (QS. 55: 7-9).

Selain masalah keteraturan, dalam melaksanakan thawaf kita juga diingatkan bahwa sesungguhnya kehidupan setiap manusia senantiasa berputar. Mungkin hari ini kita berada dalam kebahagian, tetapi mungkin esok kita hidup dalam kesusahan. Dan sesungguhnya semua itu merupakan cobaan dari Allah Swt. yang ingin menguji sampai sejauh mana tingkat keimanan kita.

Makna Sa’i
Setelah berthawaf, maka kita diminta untuk melakukan sa’i, yaitu: berlari-lari kecil antara bukit shafa dan bukit marwah. Untuk lebih mudah memahami sa’i, maka ada baiknya apabila kita kembali mengingat peristiwa sewaktu Nabi Ibrahim as meninggalkan anaknya, Nabi Ismail as, beserta istrinya, Siti Hajar di suatu lahan tandus yang sekarang ini kita kenal dengan nama Mekkah. Kecintaan dan keikhlasan kepada Allah Swt. adalah wujud dari dimensi vertikal yang dapat kita ambil sebagai pelajaran. Mungkinkah Anda meninggalkan istri dan anak Anda yang baru lahir di sebuah lahan tandus dan tidak berpenghuni? Dan adakah alasan lain untuk melakukan hal tersebut selain dari wujud kecintaan dan keikhlasan Anda kepada Allah Swt. Tuhan sekalian alam? Sesungguhnya ini adalah wujud konkret dari apa yang kita sebut dengan Tauhid.

Keikhlasan Nabi Ibrahim as untuk meninggalkan istri dan anaknya dan keikhlasan Siti Hajar untuk ditinggalkan suami tercinta karena semata-mata perintah Allah Swt. merupakan suatu hal yang dapat kita jadikan pelajaran, apalagi di masa yang sekarang ini dimana kita dengan mudahnya melalaikan perintah Allah Swt., bahkan yang sederhana seperti menjaga kebersihan sampai yang wajib seperti shalat, karena hal-hal yang bersifat duniawi. Wahai anak-anak Adam masihkah engkau tidak menyadari bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanya senda gurau belaka, dan sesungguhnya akhirat itu merupakan kehidupan yang sebenarnya?! Janganlah pernah bergantung kepada suatu hal yang hanya sesaat, tetapi bergantunglah kepada sesuatu yang abadi, yaitu: Allah Swt. Mengapa demikian? karena sesungguhnya bergantung kepada suatu yang sesaat merupakan suatu kesia-siaan.

Sementara itu, dalam dimensi horizontal sa’i merupakan wujud dari kasih sayang ibu kepada anaknya. Diceritakan bahwa ketika Siti Hajar ditinggalkan, ia mempunyai persiapan air yang cukup, tetapi ketika persediaanya mulai menipis, rasa panik mulai menghinggapi dirinya dan ia pun segera berlari-lari dari bukit shafa ke bukit marwah untuk mencari air. Ketika ia mulai lelah karena tidak menemukan air, tiba-tiba ia tercengang ketika melihat air yang memancar dari bawah padang pasir. Kemudian secara spontan ia seakan berbicara kepada air yang memancar itu agar berkumpul karena takut air itu akan kembali ke dalam pasir. Air inilah yang kini kita kenal dengan istilah air zam-zam yang berasal dari bahasa ibrani yang berarti “kumpullah-kumpullah”.

Dalam makna yang lain, sa’i mengajarkan kepada kita bahwa apabila kita ingin mendapatkan sesuatu, maka kita harus berusaha terlebih dahulu. Hanya saja dewasa ini manusia menginginkan sesuatu dengan instan karena tidak ingin lagi bersusah payah apabila ingin mendapatkan sesuatu, bahkan terkadang sampai menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya itu.

Makna Wuquf
Wuquf di (bukit) Arafah merupakan rangkaian ibadah haji setelah sa’i. Konon pada saat Nabi Adam as. diturunkan ke bumi, beliau terpisah dengan istrinya yaitu Siti Hawa, kemudian Allah Swt. mempertemukan mereka kembali di bukit Arafah. Oleh karena itu, ada semacam anggapan bahwa bukit Arafah adalah bukit jodoh, apabila seseorang berdo’a di bukit tersebut untuk mendapatkan jodoh, konon dia akan mendapatkan jodoh. Tetapi sesungguhnya itu semua tidak lebih dari sekedar legenda atau mitos.

Rasulullah Saw. pernah bersabda bahwa haji itu adalah Arafah, maksudnya adalah bahwa tidak akan diterima haji seseorang apabila ia meninggalkan wuquf di Arafah. Lalu pertanyaannya adalah apa yang sesungguhnya menyebabkan wuquf di Arafah sangat penting? Hal itu disebabkan karena ketika sedang melakukan wuquf, Nabi Muhammad Saw. mendapat wahyu terakhir yang menyatakan bahwa Allah Swt. telah meridhai Islam sebagai agama umat manusia (QS. 5:3). Selain itu, Nabi juga pernah menyampaikan khutbatul wada’ (khutbah perpisahan) yaitu khutbah terakhir Nabi sebelum meninggal -beberapa bulan kemudian.

Dalam khutbah tersebut ada beberapa hal penting yang perlu dihayati, khutbah tersebut dibuka oleh Nabi dengan pertanyaan: “Wahai sekalian umat manusia, tahukah kamu dalam bulan apa kamu ini, di hari apa kamu ini, dan di negeri apa kamu ini?” Kemudian para hadirin menjawab: “Kita semuanya ada dalam hari yang suci, bulan yang suci, dan di tanah yang suci.”

Mendengar jawaban tersebut, Nabi melanjutkan khutbahnya: “Oleh karena itu, ingatlah bahwa hidupmu, hartamu, dan kehormatanmu itu suci, seperti sucinya harimu ini, dan bulanmu ini, di negeri yang suci ini, sampai kamu datang menghadap Tuhan.” Sejenak Nabi terdiam, tetapi kemudian berkata lagi: “Sekarang dengarkan aku, dengarkanlah aku, maka kamu akan hidup tenang; ingatlah kamu tidak boleh menindas orang, tidak boleh berbuat zhalim kepada orang lain, dan tidak boleh mengambil harta orang lain.”

Dari penjelasan di atas, penulis melihat bahwa makna wuquf dari dimensi vertikal adalah kembali sucinya kita di mata Allah Swt., tetapi sucinya diri kita harus selalu disertai dengan makna horizontal wuquf, yaitu dimana kita harus senantiasa menghargai dan menghormati orang lain dengan cara tidak menindas, tidak berbuat zhalim, dan tidak mengambil harta orang lain.

Kesimpulan
Dari uraian di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa sesungguhnya dalam pelaksanaan ibadah haji, nilai-nilai kemanusiaan sangat dikedepankan. Jika kita memperhatikan ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an yang membahas masalah haji, maka semua ayat-ayat tersebut menekankan kepada kemaslahatan dan perikemanusiaan. Bahkan khutbah terakhir Nabi di Arafah dapat dikatakan sebagai pidato (khutbah) pertama yang mengangkat tema Hak Asasi Manusia (HAM) yang sekarang ini sedang banyak dibicarakan oleh kalangan barat.

Oleh sebab itu, jika kita berbicara tentang haji mabrur, maka yang dimaksud adalah bagaimana kita dapat mewujudkan makna ibadah haji tersebut dalam solidaritas sosial. Di kalangan kaum sufi ada suatu kisah menarik yang dapat memberi gambaran menganai hal ini. Alkisah, ada sepasang suami-istri yang sederhana, tetapi bertekad untuk menunaikan haji. Untuk mewujudkan tekad tersebut, mereka bekerja keras dan bersusah payah, hasil yang mereka peroleh kemudian mereka tabung. Setelah bertahun-tahun menabung, akhirnya tabungan mereka telah cukup untuk bekal perjalanan. Mereka pun akhirnya berhaji. Tetapi, sebelum sampai ke Mekkah, mereka melewati sebuah kampung yang rata-rata penduduknya sangat miskin. Mereka melihat banyak anak-anak yang menderita busung lapar; mereka juga melihat anak-anak yang tidak berpakaian. Suami-istri itu iba. Mereka berpikir bahwa naik haji memang merupakan perintah Tuhan, tetapi itu hanya dinikmati oleh mereka berdua. Sedangkan di depan mereka sedang terlihat pemandangan yang mengenaskan. Mereka kemudian berpikir, “Bukankah lebih baik apabila bekal kita diberikan kepada mereka yang lebih membutuhkan?”

Akhirnya mereka berdua sepakat untuk memberikan tabungan mereka selama bertahun-tahun itu kepada penduduk kampung tersebut. Mereka pun batal berhaji. Namun ketika sampai di rumah, ada seseorang, yang mereka tidak kenal sama sekali, yang menyambut mereka dengan ucapan: “Selamat datang dari haji mabrur wahai hamba Allah yang mulia.” Mendengar ucapan tersebut, mereka sama sekali tidak mengerti. Mereka pun menjelaskan bahwa mereka tidak jadi berhaji. Tetapi orang tersebut menjelaskan bahwa apa yang mereka lakukan di perjalanan itulah yang sesungguhnya disebut haji mabrur. Setelah berkata demikian, orang tersebut kemudian menghilang. Dalam riwayat, orang tersebut adalah malaikat yang diserupakan dengan manusia oleh Allah Swt.

Dari kisah di atas, kita dapat mengambil substansi sesungguhnya dari apa yang disebut dengan haji mabrur, yang ternyata dapat diperoleh tanpa melakukan ibadah haji secara formal. Kini marilah kita renungkan sindiran dari guru kita, Alm. Buya Hamka kepada mereka yang baru pulang dari Tanah Suci dengan pertanyaan: “Apakah ada oleh-oleh lain yang kau bawa selain air zam-zam?” Tentu kita dapat memahami bahwa ‘oleh-oleh’ yang dimaksud disini adalah haji mabrur. Semoga saudara-saudara kita yang kini sedang berhaji dapat menjadi haji mabrur dalam makna yang sesungguhnya. Last but not least, sungguh percuma bagi mereka yang berhaji apabila tidak dapat menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar