Senin, 21 Mei 2012

Menyikapi Arus Deras Islam Liberal

Dalam filologi pemikiran Islam, secara umum terdapat tiga arus utama: Islam Tradisonal (sering juga disebut Islam Fundamental), Islam Moderat, dan Islam Liberal. Ketiga arus ini merupakan wujud dari adanya interpretasi sumber utama sekaligus sejarah Islam. Dari ketiga arus tersebut, boleh dikatakan bahwa fenomena Islam Liberal cukup mendapat perhatian akhir-akhir ini. Hal ini dikarenakan pemikiran-pemikiran sekaligus metode-metode yang digunakan seringkali dianggap keluar dari mainstream utama Islam. Sehingga sangatlah wajar apabila pernyataan-pernyataan yang mereka keluarkan seringkali menimbulkan pro dan kontra.

Di Indonesia wacana akan Islam Liberal telah dimulai sejak awal tahun 1970. Banyak pihak yang menandai awal kemunculan Islam Liberal dengan adanya pidato Nurcholish Madjid dengan tema “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” pada tanggal 3 Januari 1970 dalam rangka halal bi halal beberapa organisasi mahasiswa dan pemuda di Menteng. Sejak saat itulah wacana Islam Liberal mengalir dengan deras melalui motornya seperti: Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, dan Abdurahman Wahid.

Dalam perkembangan selanjutnya, wacana Islam Liberal semakin terasa dalam masyarakat. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya akses dalam mengimplementasikan wacana Islam Liberal itu sendiri ke tengah masyarakat. Banyaknya Pusat Kajian Islam, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), maupun kehadiran internet yang menyuarakan pemikiran-pemikiran Islam Liberal membuat keberadaan arus ini menjadi mudah dan sangat terasa.

Secara umum isu-isu Islam Liberal terdiri dari: anti-teokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-muslim, kebebasan berpikir, dan gagasan tentang kemajuan (Kurzman: 2001). Apabila ditinjau dari sisi Indonesia, program liberalisasi Islam yang ada meliputi: pentingnya kontekstualisasi ijtihad; komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan; penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama; serta pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara (Barton: 1999). Sementara itu, Adian Husaini menilai bahwa program Liberalisasi Islam di Indonesia meliputi tiga hal, yaitu: liberalisasi dalam aqidah Islamiyah atau pluralisme agama; liberalisasi konsep wahyu atau menggugat mushaf Utsmani; dan liberalisasi syari’at dan akhlaq Islam (Husaini: 2006).

Penulis sendiri mengkategorikan pemikiran Islam Liberal pada dua aspek besar. Pertama, dari segi aqidah dimana para pemikir Islam Liberal berupaya memberikan pemahaman baru kepada masyarakat bahwa semua agama yang ada sama-sama menuju pada kebenaran selama menjalankan agamanya dengan baik. Para ideolog liberal seringkali mengutip QS. 2: 62 dan QS. 5: 69 untuk melegalkan pendapatnya. Penulis melihat bahwa pembenaran terhadap ayat tersebut dikarenakan adanya metode baru dalam memahami al-Qur’an dan al-Hadits yang disebut heurmenetika. Metode ini sendiri, yang telah digunakan di UIN/ IAIN/ STAIN, dianggap menjadi salah satu pendekatan yang sah dalam memahami sumber-sumber Islam. Padahal metode ini mulanya dikembangkan oleh para pemikir Kristen yang tidak puas atas tafsir yang diberikan oleh gereja.

Lebih lanjut, beberapa pemikir Islam Liberal menganggap bahwa al-Qur’an sudah tidak relevan lagi untuk menghadapi tantangan zaman. Tidak jarang pula yang terang-terangan menganggap bahwa al-Qur’an hanya “perangkap” yang dipasang oleh kaum Quraisy (Al-Qurthuby, 2005). Tentu saja ini sungguh sangat menyesatkan dan dapat mempengaruhi keyakinan umat secara keseluruhan. Sebagai orang yang beriman, tidak sepatutnya kita meragukan sedikit pun al-Qur’an jika kita memang sudah meyakini Islam.


Kedua, dari segi muamalah yang mencakup beberapa isu, seperti: (i) pemisahan agama dari negara secara menyeluruh atau sekularisme. Islam dianggap tidak memiliki korelasi langsung dengan negara. Agama (Islam) dalam hal ini hanya diperkenankan untuk mengurusi masalah yang menyangkut antara manusia dengan Tuhannya. Hal ini tentu dapat diperdebatkan karena bagi penulis Islam merupakan sistem nilai yang sangat komprehensif, termasuk di dalamnya adalah masalah politik. Karena apabila kita berpegang pada suatu yang tidak sempurna, maka niscaya pegangan itu akan rapuh.

(ii) penggantian hukum Islam dengan hukum negara. Hukum Islam seringkali dianggap sudah tidak relevan untuk diterapkan pada zaman ini karena al-Qur’an sendiri, sebagai sumber hukum Islam, telah dianggap sebagai produk sejarah yang telah usang. Selain itu, penerapan hukum Islam dalam negara juga dapat menjadi preseden buruk bagi penganut agama lain. Tentu saja argumen ini sangat aneh karena hukum Islam adalah hukum yang berlaku sepanjang zaman. Namun penulis juga tidak sepakat apabila hukum Islam yang harus dipakai adalah produk lama karena jika demikian Islam berarti tidak bisa berlaku untuk sepanjang zaman. Masalahnya sekarang adalah bagaimana manusia mengkontekstualisasikan hukum-hukum tersebut dalam situasi sekarang ini, tanpa harus merusak tatanan hukum negara yang dijalankan pemerintah.

(iii) legalitas pernikahan antar agama dan sesama jenis. Beberapa pemikir Islam Liberal telah melegalkan adanya pernikahan antar agama dengan mengutip QS. 5: 5 yang mengizinkan laki-laki muslim untuk menikahi ahlul kitab. Ada beberapa tafsir yang berupaya menjelaskan ayat ini, tetapi kalangan Islam Liberal menyatakan bahwa pernikahan antar umat beragama diperbolehkan karena tidak ada larangan yang tegas dalam al-Qur’an dan menganggap penjelasan QS. 5: 5 hanya sebagai contoh belaka. Namun akhir-akhir ini ada fenomena yang menohok akal dan hati kita ketika pada tahun 2005 Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSa) mengeluarkan buku yang berjudul “Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-Hak Kaum Homoseksual” yang merupakan kumpulan artikel di Jurnal Justisia Fakultas Syari’ah IAIN Semarang edisi 25, Th XI, 2004.

Tentu saja hal ini diluar akal sehat dan iman kita kepada Islam, mengingat salah satu penulis dalam buku itu mengaburkan fakta dalam al-Qur’an dengan menyatakan bahwa bencana yang diterima oleh Kaum Sodom hanya karena faktor bencana alam yang biasa terjadi di bumi. Dia lantas menganalogikan apabila bencana yang terjadi atas Kaum Sodom merupakan bentuk azab Tuhan karena perilaku seksual mereka yang menyimpang, maka mengapa di Belanda dan Belgia, negara yang melegalkan pernikahan antar sesama jenis, tidak diberikan azab?

Hal ini jelas membuat kita bertanya-tanya, apakah penulis tersebut masih mengaku sebagai seorang muslim apabila dia tidak mempercayai kisah di dalam al-Qur’an? Dari sini tampak pengaruh yang cukup kuat dari metode tafsir hermeneutika yang salah satu pendekatannya adalah melakukan kontekstualisasi suatu peristiwa yang ditinjau dari sejarah maupun lingkungan dimana peristiwa itu terjadi. Satu hal yang perlu kita cermati bersama adalah bahwa hermeneutika, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, merupakan produk pemikir Kristen yang kecewa terhadap sejarah agamanya, khususnya dalam hal penafsiran injil, yang penuh kepalsuan. Tentu ini berbeda dengan Islam yang tidak pernah mengalami pengalaman seperti yang dialami oleh Kristen. Jadi sudah tidak sepatutnya kita meragukan isi al-Qur’an karena sejak awal diturunkan muatan kitab suci itu masih dijaga keasliannya (Shihab, 1992).

Wacana-wacana yang penulis sajikan di atas merupakan tantangan terbesar bagi umat Islam, bahkan bagi penulis melebihi isu Ahmadiyah ataupun FPI, sekalipun. Hal ini disebabkan adanya upaya untuk mengubah cara pandang generasi muda Islam dalam melihat agamanya sendiri. Pengaruh Barat dewasa ini sudah semakin deras dan liar sehingga membutuhkan energi yang lebih untuk bisa menentukan pendapat mana yang benar dan yang salah, tentunya menurut kita sendiri.

Lantas apa yang bisa dilakukan? Penulis mencatat ada beberapa poin penting. Pertama, mengubah metode dakwah agar bisa lebih membumi dan merangkul semua elemen umat. Selama ini, salah satu counter yang sering dilakukan adalah dengan penggunaan cara kekerasan. Menurut penulis hal itu justru kurang tepat karena akan menimbulkan citra negatif terhadap Islam. Sudah saatnya bagi umat untuk lebih mengedepankan dialog yang konstruktif yang dapat membangun hubungan baik dengan berbagai pihak. Salah satu kunci sukses kalangan Liberal adalah dengan menggunakan dakwah yang santun, ramah, dan menjauhi cara-cara kekerasan sehingga mendapat simpati dari masyarakat.


Kedua, memaksimalkan fungsi media. Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, fungsi dan peran media telah meningkat pesat sebagai lidah informasi di dalam masyarakat. Masyarakat Islam Liberal sangat menyadari hal tersebut dan memaksimalkan media sebagai wadah berdakwah. Mereka aktif Menyuarakan ide-ide yang dianut melalui internet, majalah, televisi, hingga radio. Nah untuk itu, kita juga harus memanfaatkan media sebagai alat dakwah. Tidak lagi tergantung pada mesjid sebagai wadah untuk berdakwah satu-satunya.


Ketiga, mengedepankan argumentasi rasional. Penulis meyakini bahwa suatu agama yang sempurna haruslah dapat dibuktikan dengan logika atau ilmu pengetahuan. Karena dengan menggunakan akal kita mampu mencari agama yang sesungguhnya, tanpa harus menggunakan dalil kitab suci. Dengan banyaknya agama yang ada saat ini, sulit tentunya menentukan agama yang sebenarnya apabila kita hanya berargumen melalui rujukan kitab suci masing-masing agama. Apabila demikian tentu kita tidak akan menemukan kebenaran yang sejati, mengingat kebenaran tersebut hanya menjadi eksklusivitas masing-masing agama. Hal inilah yang harus kita lakukan sekarang ini, mengubah metode dakwah dari yang bersifat rigid (kaku), ke arah yang lebih terbuka, rasional, namun tetap bertanggungjawab. Kita harus bisa mengimbangi wacana Islam Liberal dengan metode yang up to date dengan perkembangan zaman, tidak melulu dikembalikan pada al-Qur’an dan al-Hadits, tanpa bermaksud mengeyampingkan ataupun merendahkan kedua rujukan utama umat Islam tersebut.

Dengan adanya strategi dakwah yang baru dan segar, insya Allah kita akan mampu menandingi dakwah kalangan Liberal demi menyelamatkan iman umat, khususnya bagi generasi muda Islam. Namun perlu diingat bahwa suasana dakwah yang dijalankan harus tetap mengedepankan cara-cara yang beradab: terbuka, toleran, anti-kekerasan, sekaligus menghindari eksklusivitas diri dengan menyatakan keyakinan kita sebagai yang paling benar karena sesungguhnya kebenaran hanyalah milik Allah semata. Untuk itu, perlu kiranya bagi kita untuk merenungkan perkataan Ibn Rusyd “Sesungguhnya pendapat saya benar dan anda salah, namun ada kemungkinan dimana pendapat saya salah dan anda benar.”

NB: Terdapat dua golongan pemikir Islam liberal, yaitu: yang masih menjadikan al-Qur'an serta al-Hadits sebagai rujukan dan yang tidak lagi menjadikan dua hal tersebut sebagai rujukan. Adapun kalangan liberal yang dimaksud dalam tulisan ini adalah mereka yang tidak lagi menganggap al-Qur'an dan al-Hadits sebagai rujukan utama karena menganggap bahwa kedua rujukan tersebut sudah tidak relevan lagi untuk menjawab tantangan zaman dan adanya anggapan bahwasanya al-Qur'an merupakan buah karya Muhammad yang tidak ada ubahnya seperti buku-buku lainnya. Catatan ini penting untuk penulis sampaikan karena tidak ingin mengeneralisir para pemikir liberal. Selain itu, dalam beberapa kasus golongan pertama beberapa kali mengkritik golongan kedua mengenai pemikiran mereka yang terlalu liar dan tidak mengikuti metode tafsir yang berlaku atau yang umum diberlakukan.

Pembebasan Keyakinan

Saya telah membuat sejarah. Ya, sejarah. Untuk kali pertama dalam 25 tahun kehidupan, Saya membuat suatu keputusan untuk keluar dari kungkungan tradisi keluarga mengenai urusan agama. Selama ini ketika berbicara soal agama, Saya terikat secara tidak langsung oleh nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan (ritual) yang dijalankan oleh keluarga. Hal ini wajar karena keluarga adalah panutan pertama sekaligus cerminan diri bagi seorang manusia.

Perlu diketahui Saya lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang lebih cenderung mengamalkan nilai-nilai dan ritual-ritual yang diajarkan oleh Nahdhatul Ulama (NU), sebuah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Namun sejak kecil, atau lebih tepatnya TK, Saya belajar di salah satu institusi pendidikan Islam terbesar di Indonesia, yakni YPI Al Azhar. Di Al Azhar pendekatan agama yang diajarkan justru lebih dekat kepada Muhammadiyah, organisasi massa Islam terbesar kedua di Indonesia, walaupun tidak diungkapkan secara eksplisit.

Dalam pelaksanaan ibadah, keluarga Saya sendiri sebenarnya tidak mau terlalu banyak nuntut ini dan itu. Bagi mereka selama Saya menjalankan apa yang wajib, maka tidak menjadi persoalan apabila terjadi perbedaan dalam cara mengamalkannya. Misal, setiap Subuh Ayahanda selalu menggunakan qunut, sedangkan saya tidak. Mengapa terjadi perbedaan? Karena selama sekolah di Al Azhar Saya tidak pernah diajarkan untuk membaca qunut ketika subuh. Keluarga Saya juga tidak pernah menuntut  untuk menggunakan qunut -bahkan Saya tidak diajarkan oleh mereka akan do'a itu. Bagi mereka intinya Saya sholat, selesai.

Disinilah menariknya, sebenarnya kedua unit pembentuk pola pikir dasar Saya akan agama ini tidak berupaya untuk memaksakan kehendaknya, memaksakan doktrin agamanya, memaksakan imannya. Namun hal ini membuat Saya menjadi ragu dan bimbang karena bagaikan hidup di dalam dua tradisi. Tidak sedikit dari tradisi itu yang saling bertentangan karena berbeda dalam penggunaan hadits maupun dalam menafsirkan satu hadits yang sama untuk suatu kasus tertentu. Misal, di keluarga Saya, tradisi tahlilan itu sangat kuat. Padahal dalam Muhammadiyah, perkara tersebut dapat dikategorikan sebagai bid'ah.

Awalnya Saya hanya mengikuti "alur" mengikuti apa yang ada, yang terbiasa, selama tidak bertentangan dengan nurani. Argumentasi yang sering Saya gunakan adalah "yang penting niat dan tujuannya untuk kebaikan." Seperti dalam kasus tahlilan, Saya tetap melakukannya karena diniatkan untuk mendo'akan orang yang sudah meninggal (terlebih apabila yang meninggal itu kerabat) bukan dalam maksud mengkultuskan, apalagi musyrik.

Namun semakin tua, Saya merasa ada yang kurang tepat dengan apa yang selama ini dipikirkan. Ya Saya melakukan simplifikasi persoalan. Saya secara tidak langsung melakukan apologi pemikiran keagamaan. Jika dilihat dari output nilai apa yang Saya lakukan pada dasarnya bisa diterima. Tetapi, yang menjadi persoalannya kemudian adalah terkait dengan proses bagaimana output nilai itu dicapai. Jika hanya melakukan pemikiran yang bersifat normatif, maka hasilnya akan menjadi dangkal. Tidak rasional, tidak empiris, dan tidak ilmiah.

Boleh dikatakan apa yang Saya alami adalah suatu hal yang lumrah terjadi di masyarakat kita yakni melakukan simplifikasi masalah. Dewasa ini masyarakat menyukai hal-hal yang bersifat instan dan kurang ingin dirumitkan oleh hal-hal yang menyulitkan, apalagi hal-hal yang terkesan abstrak layaknya agama, seperti perkara akhirat yang belum terlihat wujudnya. Hasilnya ada beberapa tipikal manusia yang dihasilkan terkait hubungannya dengan pemahaman akan agama:

1) Manusia yang skeptis terhadap agama, mereka enggan memahami agama dan melakukan ritual yang mengiringinya. Mereka menganggap bahwa agama tidak lagi relevan dalam kehidupan -atau setidaknya "membantu" mereka dalam menjalani hidup. Simplifikasi ini didasari oleh adanya dua kemungkinan. Pertama, tradisi agama yang tidak kuat dan melekat dalam diri mereka sedari kecil. Hal ini menyebabkan nilai agama tidak melekat dalam diri mereka. Kedua, adanya kekecewaan dalam diri manusia akan agama. Mereka yang tergabung dalam kelompok ini awalnya beragama, atau setidaknya mengenal agama, tetapi kejadian-kejadian tertentu (negatif) membuat mereka berpaling. Masalahnya kemudian adalah apakah ketika mengalami kejadian-kejadian negatif tersebut, mereka telah melakukan kontemplasi ilmiah dan bukan hanya "melarikan diri dari kenyataan?" Kenyataannya, secara subjektif, Saya melihat banyak sikap skeptisme ini lebih didasari oleh sikap reaksioner yang kemudian terlembagakan dalam diri, bukan didukung oleh suatu hal yang bersifat ilmiah.

2) Manusia yang menjalankan agama dalam konteks budaya. Maksudnya adalah mereka yang beragama lebih karena faktor orangtua, bukan atas dasar kemerdekaan pikir dan gerak. Mereka yang terjebak dalam situasi ini biasanya memiliki kuantitas ibadah, tetapi belum tentu kualitas. Hal ini menandakan bahwa mereka rajin beribadah, tetapi tidak begitu mengerti dan memahami apa yang mereka ibadahkan. Kuat secara tradisi, lemah secara ilmu. Jika ditanya tentang agama, mereka cenderung untuk menjawab sebisanya, semampunya. Bukan tidak mungkin mereka menghindari pertanyaan-pertanyaan kritis dan berapologi, "Itu sudah menjadi perintah Allah, tidak perlu kita pertanyakan lagi, cukup dikerjakan, selesai!" Tipikal no. 2 ini jelas membawa umat pada kejumudan, kekakuan ibadah, dan terpenting tidak mampu memahami esensi dari ibadah itu sendiri. Pada akhirnya karakteristik ibadah mereka dapat disimpulkan dalam satu kata: taklid yang tidak bertanggungjawab.

3) Manusia yang berusaha memahami dan menjalankan agama, namun secara partikular. Dalam masyarakat modern, salah satu isu yang menjadi kunci penting adalah waktu. Masyarakat modern adalah masyarakat yang dituntut. Dituntut berbagai macam persoalan kehidupan, khususnya terkait isu pekerjaan. Dengan alasan pekerjaan, waktu dikambinghitamkan dan pada akhirnya menegasikan, atau setidaknya mengorbankan hal lain, semisal: aktivitas sosial dan agama.

Saya tentu sangat tidak ingin apabila terkategorikan ke dalam satu di antara tiga tipologi di atas. Saya ingin memahami agama secara komprehensif, baik dalam tataran ilmu maupun kesadaran (mental). Setidaknya keberanian Saya untuk berbeda keyakinan dalam hal praktik ibadah dengan keluarga adalah salah satu kunci dasar kemandirian keyakinan. Namun perlu dipahami bahwa perbedaan tersebut tidak boleh hanya sekedar berada di tataran permukaan semata, melainkan harus bisa menyentuh tataran substansi. Jadi jika Saya memutuskan untuk ikut tradisi Muhammadiyah, misalnya, bukan karena  pernah sekolah di Al Azhar yang tradisi Muhammadiyahnya kental, melainkan berdasarkan rasionalitas dan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sebagai penutup, Saya juga berharap agar proses pembebasan ini tidak berhenti pada suatu titik, melainkan harus terus berjalan mengikuti konteks ruang dan waktu. Jangan sampai merasa puas pada suatu kondisi karena hakikat pembebasan yang Saya maksud, seperti yang telah disebut sebelumnya, bersifat komprehensif yang berarti tidak hanya menyentuh dimensi duniawi, melainkan ukhrawi yang saat ini belum dapat dirasakan.

Wallahu'alam bi shawab