Di tengah
maraknya pemberitaan krisis Gaza dan fenomena Islamic States (IS) di Irak dan Suriah, ada sebuah kabar baik yang
datang dari Negeri Dua Benua, Turki. Pada Ahad 10 Agustus 2014, Perdana Menteri
Recep Tayyip Erdogan berhasil memenangkan Pemilu Presiden yang untuk kali
pertama menggunakan sistem popular vote.
Erdogan berhasil meraih 52% suara unggul atas Ekmeleddin Ihsanoglu (38%) dan
Selahattin Demirtas (10%).
Kekuatan Erdogan
Setidaknya ada
tiga hal yang menjadi kekuatan Erdogan dalam Pemilu. Pertama, Erdogan mampu menciptakan stabilitas politik di Turki. Sejak
Erdogan berkuasa, politik di Turki relatif stabil, terutama bila dikaitkan
dengan tidak adanya upaya kudeta militer. Memang terdapat beberapa demontrasi
terhadap kebijakan-kebijakan Erdogan yang berakhir dengan kerusuhan. Namun hal
tersebut tidak memiliki dampak signifikan yang dapat mengganggu keamanan negara.
Kedua,
Erdogan mampu meningkatkan perekonomian Turki. Sebelum Erdogan berkuasa, Turki
menghadapi krisis ekonomi di tahun 2001. Ketika mulai berkuasa Erdogan segera
memberlakukan reformasi ekonomi dengan lebih pro terhadap pasar. Para investor kembali
menanam modal di Turki yang kemudian membuka lapangan kerja dan meningkatkan
pembangunan infrastruktur di hampir semua wilayah. Hasilnya Turki saat ini
telah menjadi salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia.
Ketiga,
kemenangan Erdogan juga dipengaruhi oleh kegagalan partai oposisi dalam
menciptakan kampanye yang mampu menarik massa. Salah satu persoalan penting
yang dihadapi oleh partai oposisi adalah tidak adanya figur yang memiliki
popularitas setara dengan Erdogan. Kampanye yang dilakukan oleh oposisi juga
tidak menawarkan sebuah visi maupun program-program baru, melainkan hanya berputar
pada kritik terhadap kepemimpinan Erdogan. Padahal kritik-kritik tersebut
relatif lemah bila dibandingkan dengan pencapaian Erdogan selama menjabat
sebagai perdana menteri. Apalagi jika mengacu pada pendapat Kinzer (2001)
dimana elit politik yang berhaluan Kemalis (sekular) dianggap sebagai penyebab
terjadinya krisis di akhir dekade 1990-an dan awal dekade 2000-an sekaligus
sebagai batu sandungan bagi upaya demokratisisi, pembangunan ekonomi dan
masyarakat Turki. Sebuah pendapat yang tentunya berbeda dengan fakta saat ini
kala Turki dipimpin oleh AKP yang justru berhaluan konservatif Islamis.
Tantangan Masa Depan
Dengan posisi
baru sebagai presiden, Erdogan dihadapkan pada beberapa tantangan yang harus
segera diselesaikan guna mewujudkan visi Turki 2023 yang bertepatan dengan 100
tahun berdirinya Republik Turki.
Pertama,
Erdogan harus menyelesaikan rencana perubahan konstitusi dalam waktu singkat. Kuat
dugaan bila nantinya konstitusi baru akan memberikan peran yang lebih besar
bagi presiden. Hal ini tentu bertolak belakang dengan peran presiden sebelumnya
yang sebatas figur dan simbol nasional. Dengan adanya peran dan wewenang baru
bagi presiden, Turki akan memiliki dua tubuh eksekutif, presiden dan perdana
menteri, layaknya sistem politik yang berlaku di Prancis dan Rusia. Apabila hal
itu terealisasi tentu dibutuhkan waktu untuk melakukan transisi sistem politik.
Sehingga semakin cepat konstitusi baru diwujudkan, semakin cepat pula Erdogan
memiliki legitimasi untuk menjalankan program-programnya.
Kedua,
menciptakan rekonsiliasi rakyat Turki. Aksi demonstrasi besar yang terjadi di
tahun 2013 telah membuat gap yang
semakin besar antara Erdogan yang berlabelkan Islamis dengan kubu oposisi yang
berhaluan nasionalis sekuler. Kebijakan Erdogan yang pro terhadap aktualisasi
nilai-nilai Islam dalam masyarakat dianggap bertentangan dengan tradisi
masyarakat sekular Turki. Kemenangan Erdogan dikhawatirkan kubu oposisi akan
semakin meningkatkan praktik-praktik keislaman dan mengikis budaya sekular peninggalan
Mustafa Kemal Attaturk. Oleh karenanya Erdogan perlu merangkul kelompok
nasional sekular untuk mengajak mereka bersama-sama membangun Turki di masa
depan sekaligus meminimalisir potensi konflik yang ada.
Ketiga,
salah satu persoalan domestik yang dihadapi Turki dari masa ke masa adalah
terkait gerakan separatis Kurdi yang diwakili oleh Partai Pekerja Kurdi (PKK). Gerakan
separatis yang dilakukan telah menyebabkan banyak nyawa yang melayang, baik
dari kubu PKK maupun militer Turki. Namun sejak tahun 2013, pemerintahan
Erdogan telah berhasil merintis upaya perdamaian. Hal ini diamini oleh Abdullah
Ocalan, pemimpin PKK yang sedang berada di penjara, dengan mendeklarasikan
gencatan senjata antara kedua belah pihak. Dengan terpilihnya Erdogan sebagai
presiden upaya perundingan diharapkan dapat berjalan lebih intens guna
menghasilkan perjanjian perdamaian yang berlaku efektif.
Keempat,
dalam beberapa tahun terakhir Turki telah menunjukkan sikap aktif dalam upaya
mewujudkan perdamaian dunia. Sikap Erdogan yang tegas dalam membela Palestina dari
Israel maupun campur tangannya dalam krisis Suriah menjadi bukti hal tersebut. Hal
ini yang diharapkan akan terus dilakukan oleh Erdogan ketika menjabat sebagai
presiden, khususnya yang berkenaan dengan kepentingan kaum Muslimin di dunia.
Karena bagaimanapun juga sepeninggal kepemimpinan Ahmadinejad di Iran, hanya
Erdogan yang berani bersuara lantang untuk kepentingan umat Islam dunia.
Kelima,
sejak tahun 2005 Turki telah diterima sebagai kandidat anggota Uni Eropa (UE). Namun
hingga saat ini UE masih enggan menerima Turki sebagai anggotanya. Banyak
perspektif yang mencoba menjawab pertanyaan mengapa Turki belum diterima
sebagai anggota UE. Mulai dari masih belum demokratisnya Turki, kekhawatiran
akan jumlah warga Negara Turki yang dapat mengganggu pasar kerja masyarakat
Eropa, sampai pada isu agama. Terlepas dari pandangan yang ada, Erdogan
diyakini akan semakin gencar untuk mengupayakan bergabungnya Turki ke dalam UE
sekaligus meningkatkan kerjasama regional dalam berbagai bidang.
Keenam,
salah satu tantangan Erdogan yang sering terlupakan adalah mengenai regenerasi
kepemimpinan. Erdogan adalah AKP dan AKP adalah Erdogan. Adagium ini di satu
sisi menekankan betapa besarnya peran Erdogan, tetapi di sisi lain menunjukkan
adanya kelemahan partai dalam mengembangkan sistem regenerasi kepemimpinan.
Kekhawatiran terbesar yang dihadapi oleh AKP maupun massa Islamis di Turki
adalah terkait sosok pengganti Erdogan. Saat ini belum ada figur Islam, baik
dari dalam maupun luar AKP, yang mampu menandingi popularitas dan charisma
Erdogan. Sehingga wajar muncul tanda tanya besar terkait sosok pengganti
Erdogan. Untuk itu, selama menjabat sebagai presiden, Erdogan diharapkan mampu mempersiapkan
calon-calon penggantinya jika dia kelak sudah tidak berkuasa. Hal ini wajib
dilakukan agar kepemimpinan AKP dalam politik dan pemerintahan Turki tetap
lestari.
Sebagai penutup, kemenangan
Erdogan merupakan sebuah oase dari kekeringan politik Islam yang selama
beberapa dekade terakhir mengalami keterpurukan. Semoga kemenangan Erdogan akan
mampu membangkitkan kembali politik Islam di berbagai negara guna mewujudkan Izzul Islam wal Muslimin.
(Dimuat dalam rubrik opini Republika, 20 Agustus 2014)