Pada
7 Mei 2015, Britannia Raya sukses menyelenggarakan Pemilu untuk memilih anggota
Parlemen. Partai Konservatif di luar dugaan berhasil meraih suara terbanyak
dengan 331 kursi dari total 650 kursi yang diperebutkan. Jumlah tersebut lebih
banyak 28 kursi dari Pemilu 2010. Padahal hasil polling sebelum Pemilu
dilaksanakan menunjukkan jika Partai Konservatif tidak akan mendapatkan lebih
dari 300 kursi.
Hasil
mengecewakan justru dialami oleh Partai Buruh yang hanya meraih 232 kursi atau
berkurang 24 kursi dari Pemilu sebelumnya. Partai Liberal Demokrat juga
mendapatkan hasil buruk dimana mereka kehilangan 49 kursi dan harus puas dengan
8 kursi. Pencapaian positif justru didapatkan oleh Partai Nasional Skotlandia
(SNP) yang mampu menambah 50 kursi di Pemilu tahun ini sehingga menjadikan
partai ini memperoleh 56 wakil di Westminster.
Dengan
hasil ini, Perdana Menteri (PM) incumbent,
David Cameron, diyakini akan terpilih kembali sebagai kepala pemerintahan
Britannia Raya. Jumlah 331 kursi yang dimiliki Partai Konservatif sudah cukup
untuk membentuk pemerintahan, walaupun dengan status slight majority.
Pelajaran untuk Indonesia
Selain kemenangan meyakinkan Partai
Konservatif, Pemilu Britannia Raya juga menunjukkan beberapa hal positif yang
layak menjadi pelajaran penting bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Penulis tentu tidak bermaksud untuk membandingkan situasi dan kondisi politik
di antara kedua negara, melainkan hanya menunjukkan beberapa hal yang patut
ditiru oleh Indonesia agar semakin matang dalam berdemokrasi.
Pertama,
rasa tanggung jawab besar yang dimiliki para pemimpin partai. Tanggung jawab ini
dibuktikan dari sikap Ed Miliband (Buruh), Nick Clegg (Liberal Demokrat), dan
Nigel Farage (UKIP) yang mengundurkan diri beberapa jam setelah hasil Pemilu
menunjukkan kekalahan. Beruntung bagi Farage, surat permohonan pengunduran
dirinya ditolak sehingga dia akan tetap menjabat sebagai Ketua Partai UKIP
hingga Pemilu selanjutnya.
Sikap ini menunjukkan adanya jiwa
ksatria di dalam diri pemimpin di Britannia. Pemilu adalah bagaikan medan
peperangan sehingga ketika seorang pemimpin gagal membawa partainya memenuhi
target yang telah dicanangkan, maka pengunduran diri menjadi langkah yang harus
diambil.
Hal ini tentu berbeda dengan kondisi
kepartaian di Indonesia dimana terdapat pemimpin yang jika memungkinkan akan
berkuasa selama mungkin kendatipun partainya mengalami kekalahan dalam Pemilu.
Rasa malu sepertinya menjadi suatu hal yang langka dalam perpolitikan tanah
air.
Kedua,
para pemimpin partai di Britannia kebanyakan berusia sekitar 40-an tahun.
Sebuah usia dengan pengalaman yang cukup matang ditunjang dengan semangat
tinggi untuk membangun bangsa dan negara. Sebagai ilustrasi David Cameron
ketika terpilih menjadi PM baru berusia 43 tahun. Sementara David Miliband
ketika ditunjuk menjadi Menteri Luar Negeri tahun 2007 baru berusia 37 tahun.
Di Indonesia, para pemimpin partai
rata-rata telah berusia lebih dari 50 tahun. Bahkan ada pemimpin partai yang
telah berusia lebih dari 60 tahun. Fenomena ini terjadi karena sistem politik
Indonesia yang masih dipengaruhi oleh feodalisme. Lihat saja, ada partai yang
terus mempertahankan seorang pemimpin karena mewarisi darah ayahnya. Ada juga
pemimpin yang dipilih karena dialah sang pendiri partai. Sementara di partai
lain fenomena yang muncul adalah siapa yang memiliki banyak uang, dialah yang
akan terpilih sebagai ketua.
Padahal,
idealnya usia 60 tahun ke atas sudah tidak lagi berkiprah sebagai politisi,
melainkan negarawan. B.J. Habibie adalah sosok yang menarik dan layak dijadikan
contoh. Selesai menjabat sebagai presiden, beliau tidak membuat partai maupun turut
campur dalam politik praktis. Beliau mempercayakan generasi selanjutnya untuk
mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan. Tetapi, beliau selalu siap sedia
untuk memberikan masukan atas permasalahan yang ada apabila diminta.
Ketiga, salah satu cerita menarik dari Pemilu 2015 adalah terpilihnya
Mhairi Black sebagai anggota parlemen di usianya yang baru menginjak 20 tahun.
Hebatnya, Black mampu mengalahkan Douglas Alexander, politisi senior Partai
Buruh yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Bayangan di periode sebelumnya.
Pencapaian
Black adalah bukti bahwa dalam sistem demokrasi, yang terpenting bukanlah nama
besar atau uang yang melimpah, melainkan semangat dan keinginan tulus mengabdi
untuk rakyat. Berbeda dengan situasi di Indonesia dimana kesempatan bagi
generasi muda untuk berkiprah sebagai politisi masih sulit.
Jikapun
ada generasi muda yang telah terpilih menjadi pemimpin daerah ataupun anggota
dewan biasanya lebih dikarenakan oleh nama keluarga yang disandangnya, bukan
berdasarkan prestasi yang telah dibuatnya untuk rakyat. Lagi-lagi sistem
feodalisme memberikan kontribusi terhadap fenomena ini.
Berbagai
permasalahan yang ada saat ini seharusnya dapat menjadi pintu masuk bagi generasi
muda untuk berkontribusi secara nyata bagi rakyat. Besar harapan di masa depan
akan lebih banyak generasi muda yang dicalonkan sebagai anggota dewan maupun
pemimpin daerah. Setidaknya generasi muda dapat berkaca dari keberhasilan Black
pada Pemilu Britannia 2015.
Penting kiranya jika Indonesia mampu
belajar dari pengalaman Britannia. Sebuah tantangan yang tentunya tidak mudah,
namun bukan tidak mungkin untuk diwujudkan. Sebagai langkah awal, poin penting
yang harus dikedepankan adalah adanya perubahan mindset para politisi dimana politik bukan semata untuk meraih
kekuasaan, tetapi untuk mengabdi demi pembangunan dan kemakmuran rakyat,
bangsa, dan negara yang lebih baik.