Selasa, 09 Desember 2014

Ahok dan Politik Islam


Akhirnya Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta. Pelantikan Ahok sempat menuai pro dan kontra terkait prosedur hukum. Selain itu ada sejumlah kelompok yang juga mempermasalahkan pengangkatan Ahok sebagai gubernur karena latar belakang suku dan agama.

Demokrasi dan Multikulturalisme
Penolakan Ahok sebagai gubernur karena alasan suku dan agama patut kita sesalkan. Setidaknya ada beberapa poin yang dapat dikedepankan. Pertama, pernyataan tersebut tidak selaras dengan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Semenjak reformasi 1998, demokratisasi telah menjadi salah satu agenda utama dalam pembentukan sistem sosial dan politik masyarakat Indonesia.

Dengan adanya demokrasi, maka pemikiran maupun tindakan diskriminatif maupun represif kelompok mayoritas tehadap kelompok minoritas tidak lagi dapat diberlakukan. Selama kelompok minoritas tercatat sebagai warga negara, maka mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam berbagai aspek kehidupan.

Secara politik, kelompok minoritas juga memiliki hak untuk memilih pemimpin maupun dipilih sebagai calon pemimpin masyarakat, mulai dari level paling sederhana (Ketua RT) sampai yang paling tinggi (Presiden). Jadi jelas, tindakan beberapa kelompok masyarakat yang menolak Ahok karena suku dan agama dapat dianggap sebagai kemunduran nilai-nilai demokrasi di Indonesia.

Kedua, penolakan tersebut juga dianggap menciderai multikulturalisme yang ada di Indonesia. Suka atau tidak, Indonesia adalah negara yang memiliki rakyat yang bersifat majemuk. Mereka terdiri dari berbagai suku, agama, dan kebudayaan yang beragam. Sudah sepatutnya bila keragaman ini dirayakan dengan cara positif, seperti mengakui keberadaan suku dan agama lain untuk hidup damai, rukun, toleran, tanpa ada diskriminasi dalam bentuk apapun.

Bukankah keanekaragaman yang ada dalam masyarakat Indonesia telah dituangkan dengan indah melalui semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang secara umum berarti walaupun berbeda-beda namun tetap satu jua. Atas dasar multikulturalisme inilah tidak sepatutnya Ahok ditolak sebagai gubernur.

Jika pun ada kelompok yang hendak melakukan penolakan atas pencalonan Ahok, maka hal itu harus didasari oleh alasan kuat, seperti: adanya pelanggaran hukum yang dilakukan atau terkait kinerjanya yang dianggap tidak professional karena kegagalan merealisasikan janji-janji pada saat kampanye dahulu.

Refleksi Politik Islam
Penulis dapat memahami jika penolakan Ahok sebagai gubernur yang dilakukan oleh beberapa ormas Islam turut dilandasi oleh adanya ayat-ayat dalam Al Qur’an yang melarang kaum Muslim mengangkat pemimpin non-Muslim (QS. Al Maidah: 51). Belum lagi dengan gaya kepemimpinan Ahok yang keras, tegas, terkesan arogan dan acapkali mengeluarkan kalimat yang tidak enak untuk didengar.

Akan tetapi, ormas-ormas Islam tersebut harus memahami jika mereka hidup dalam sistem demokrasi. Artinya seseorang yang ingin menjadi pemimpin harus didukung oleh suara mayoritas dalam Pemilu. Kemenangan Jokowi dan Ahok pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 menunjukkan bila sebagaian besar masyarakat Jakarta menginginkan duet tersebut sebagai pemimpin mereka. Padahal mayoritas masyarakat Jakarta adalah Muslim.

Dengan demikian boleh dikatakan saat ini sebagian masyarakat Muslim memilih pemimpinnya tidak lagi berdasarkan latar belakang suku maupun agama, melainkan karena karakter, kapabilitas, pengalaman, dan popularitas calon pemimpin. Wajar bila dalam pro dan kontra pengangkatan Ahok sebagai gubernur, banyak umat Islam yang turut mendukungnya karena dilihat dari tindak-tanduknya selama ini yang dianggap positif saat menjabat sebagai wakil gubernur.

Kenyataan ini seharusnya menjadi momentum bagi pemimpin umat Islam untuk menggalakkan kembali politik Islam dalam masyarakat. Ada beberapa hal yang kemudian harus diperhatikan. Pertama, wajah politik Islam yang dikedepankan tidak boleh berbasiskan kekerasan, melainkan kearifan dan kebijaksanaan. Pemimpin umat dapat bercermin dari pelaksanaan politik Islam pada masa Rasulullah di Madinah maupun di Cordoba yang mengedepankan semangat multikulturalisme.

Kedua, saat ini partai Islam terjebak pada pragmatisme kekuasaan, bukan memperjuangkan nilai-nilai Islam dan kepentingan umat. Sehingga wajar apabila hingga saat ini keinginan untuk melihat partai Islam yang satu dan solid masih jauh dari harapan. Padahal bukankah fondasi sosial politik masyarakat Islam adalah ukhuwah Islamiyyah?

Ketiga, untuk mensukseskan kedua hal di atas, maka dakwah mengenai masalah politik atau siyasah harus lebih digalakkan. Boleh dikatakan dukungan sebagian umat Islam kepada Ahok, bukan hanya didasari oleh karakter kepemimpinan Ahok yang menarik, tetapi juga dikarenakan kurangnya pengetahuan teks-teks agama terkait masalah politik.

Dengan adanya dakwah politik Islam yang berbasiskan konsep rahmatan lil alamin, yang ditunjang dengan keberadaan partai Islam yang amanah, diharapkan akan mampu menghasilkan kader-kader pemimpin umat yang berkualitas di masa depan. Kualitas yang dimaksud tentunya bukan berasal dari pencitraan, tetapi berasal dari keimanan dan ketaqwaan; ilmu yang luas; visioner; kreatif; cakap dalam berkomunikasi; arif dan bijaksana dalam mengambil keputusan; profesional dalam bekerja; mengayomi semua kelompok; sekaligus tegas dalam mengambil keputusan.

Apabila ketiga hal di atas dapat dikedepankan, maka harapan akan politik Islam yang lebih kuat, solid, dan amanah akan lebih mudah diwujudkan. Kini pertanyaan besarnya apakah mayoritas umat Islam mau mewujudkan hal tersebut? Wallahu’alam bishawab.

Selasa, 23 September 2014

Erdogan dan Masa Depan Turki



Di tengah maraknya pemberitaan krisis Gaza dan fenomena Islamic States (IS) di Irak dan Suriah, ada sebuah kabar baik yang datang dari Negeri Dua Benua, Turki. Pada Ahad 10 Agustus 2014, Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan berhasil memenangkan Pemilu Presiden yang untuk kali pertama menggunakan sistem popular vote. Erdogan berhasil meraih 52% suara unggul atas Ekmeleddin Ihsanoglu (38%) dan Selahattin Demirtas (10%).

Kekuatan Erdogan
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi kekuatan Erdogan dalam Pemilu. Pertama, Erdogan mampu menciptakan stabilitas politik di Turki. Sejak Erdogan berkuasa, politik di Turki relatif stabil, terutama bila dikaitkan dengan tidak adanya upaya kudeta militer. Memang terdapat beberapa demontrasi terhadap kebijakan-kebijakan Erdogan yang berakhir dengan kerusuhan. Namun hal tersebut tidak memiliki dampak signifikan yang dapat mengganggu keamanan negara.

Kedua, Erdogan mampu meningkatkan perekonomian Turki. Sebelum Erdogan berkuasa, Turki menghadapi krisis ekonomi di tahun 2001. Ketika mulai berkuasa Erdogan segera memberlakukan reformasi ekonomi dengan lebih pro terhadap pasar. Para investor kembali menanam modal di Turki yang kemudian membuka lapangan kerja dan meningkatkan pembangunan infrastruktur di hampir semua wilayah. Hasilnya Turki saat ini telah menjadi salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia.

Ketiga, kemenangan Erdogan juga dipengaruhi oleh kegagalan partai oposisi dalam menciptakan kampanye yang mampu menarik massa. Salah satu persoalan penting yang dihadapi oleh partai oposisi adalah tidak adanya figur yang memiliki popularitas setara dengan Erdogan. Kampanye yang dilakukan oleh oposisi juga tidak menawarkan sebuah visi maupun program-program baru, melainkan hanya berputar pada kritik terhadap kepemimpinan Erdogan. Padahal kritik-kritik tersebut relatif lemah bila dibandingkan dengan pencapaian Erdogan selama menjabat sebagai perdana menteri. Apalagi jika mengacu pada pendapat Kinzer (2001) dimana elit politik yang berhaluan Kemalis (sekular) dianggap sebagai penyebab terjadinya krisis di akhir dekade 1990-an dan awal dekade 2000-an sekaligus sebagai batu sandungan bagi upaya demokratisisi, pembangunan ekonomi dan masyarakat Turki. Sebuah pendapat yang tentunya berbeda dengan fakta saat ini kala Turki dipimpin oleh AKP yang justru berhaluan konservatif Islamis.

Tantangan Masa Depan
Dengan posisi baru sebagai presiden, Erdogan dihadapkan pada beberapa tantangan yang harus segera diselesaikan guna mewujudkan visi Turki 2023 yang bertepatan dengan 100 tahun berdirinya Republik Turki.

Pertama, Erdogan harus menyelesaikan rencana perubahan konstitusi dalam waktu singkat. Kuat dugaan bila nantinya konstitusi baru akan memberikan peran yang lebih besar bagi presiden. Hal ini tentu bertolak belakang dengan peran presiden sebelumnya yang sebatas figur dan simbol nasional. Dengan adanya peran dan wewenang baru bagi presiden, Turki akan memiliki dua tubuh eksekutif, presiden dan perdana menteri, layaknya sistem politik yang berlaku di Prancis dan Rusia. Apabila hal itu terealisasi tentu dibutuhkan waktu untuk melakukan transisi sistem politik. Sehingga semakin cepat konstitusi baru diwujudkan, semakin cepat pula Erdogan memiliki legitimasi untuk menjalankan program-programnya.

Kedua, menciptakan rekonsiliasi rakyat Turki. Aksi demonstrasi besar yang terjadi di tahun 2013 telah membuat gap yang semakin besar antara Erdogan yang berlabelkan Islamis dengan kubu oposisi yang berhaluan nasionalis sekuler. Kebijakan Erdogan yang pro terhadap aktualisasi nilai-nilai Islam dalam masyarakat dianggap bertentangan dengan tradisi masyarakat sekular Turki. Kemenangan Erdogan dikhawatirkan kubu oposisi akan semakin meningkatkan praktik-praktik keislaman dan mengikis budaya sekular peninggalan Mustafa Kemal Attaturk. Oleh karenanya Erdogan perlu merangkul kelompok nasional sekular untuk mengajak mereka bersama-sama membangun Turki di masa depan sekaligus meminimalisir potensi konflik yang ada.

Ketiga, salah satu persoalan domestik yang dihadapi Turki dari masa ke masa adalah terkait gerakan separatis Kurdi yang diwakili oleh Partai Pekerja Kurdi (PKK). Gerakan separatis yang dilakukan telah menyebabkan banyak nyawa yang melayang, baik dari kubu PKK maupun militer Turki. Namun sejak tahun 2013, pemerintahan Erdogan telah berhasil merintis upaya perdamaian. Hal ini diamini oleh Abdullah Ocalan, pemimpin PKK yang sedang berada di penjara, dengan mendeklarasikan gencatan senjata antara kedua belah pihak. Dengan terpilihnya Erdogan sebagai presiden upaya perundingan diharapkan dapat berjalan lebih intens guna menghasilkan perjanjian perdamaian yang berlaku efektif.

Keempat, dalam beberapa tahun terakhir Turki telah menunjukkan sikap aktif dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia. Sikap Erdogan yang tegas dalam membela Palestina dari Israel maupun campur tangannya dalam krisis Suriah menjadi bukti hal tersebut. Hal ini yang diharapkan akan terus dilakukan oleh Erdogan ketika menjabat sebagai presiden, khususnya yang berkenaan dengan kepentingan kaum Muslimin di dunia. Karena bagaimanapun juga sepeninggal kepemimpinan Ahmadinejad di Iran, hanya Erdogan yang berani bersuara lantang untuk kepentingan umat Islam dunia.

Kelima, sejak tahun 2005 Turki telah diterima sebagai kandidat anggota Uni Eropa (UE). Namun hingga saat ini UE masih enggan menerima Turki sebagai anggotanya. Banyak perspektif yang mencoba menjawab pertanyaan mengapa Turki belum diterima sebagai anggota UE. Mulai dari masih belum demokratisnya Turki, kekhawatiran akan jumlah warga Negara Turki yang dapat mengganggu pasar kerja masyarakat Eropa, sampai pada isu agama. Terlepas dari pandangan yang ada, Erdogan diyakini akan semakin gencar untuk mengupayakan bergabungnya Turki ke dalam UE sekaligus meningkatkan kerjasama regional dalam berbagai bidang.

Keenam, salah satu tantangan Erdogan yang sering terlupakan adalah mengenai regenerasi kepemimpinan. Erdogan adalah AKP dan AKP adalah Erdogan. Adagium ini di satu sisi menekankan betapa besarnya peran Erdogan, tetapi di sisi lain menunjukkan adanya kelemahan partai dalam mengembangkan sistem regenerasi kepemimpinan. Kekhawatiran terbesar yang dihadapi oleh AKP maupun massa Islamis di Turki adalah terkait sosok pengganti Erdogan. Saat ini belum ada figur Islam, baik dari dalam maupun luar AKP, yang mampu menandingi popularitas dan charisma Erdogan. Sehingga wajar muncul tanda tanya besar terkait sosok pengganti Erdogan. Untuk itu, selama menjabat sebagai presiden, Erdogan diharapkan mampu mempersiapkan calon-calon penggantinya jika dia kelak sudah tidak berkuasa. Hal ini wajib dilakukan agar kepemimpinan AKP dalam politik dan pemerintahan Turki tetap lestari.

Sebagai penutup, kemenangan Erdogan merupakan sebuah oase dari kekeringan politik Islam yang selama beberapa dekade terakhir mengalami keterpurukan. Semoga kemenangan Erdogan akan mampu membangkitkan kembali politik Islam di berbagai negara guna mewujudkan Izzul Islam wal Muslimin.

(Dimuat dalam rubrik opini Republika, 20 Agustus 2014)