Kamis, 03 Desember 2009

Menangkap Makna Spiritual Haji

Oleh: Rizky Hikmawan

Tidak terasa telah satu bulan lebih Ramadhan meninggalkan kita, kini musim haji tahun 1426 H telah bergulir di depan mata. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, Negara kita kembali memberangkatkan ratusan jemaah yang berasal dari berbagai macam daerah. Ibadah haji, seperti yang kita ketahui, merupakan Rukun Islam ke-5 dan hanya ditujukan bagi mereka yang mampu. Kita harus menyadari bahwa sesungguhnya pelaksanaan ibadah haji sungguh sangatlah berat karena membutuhkan persiapan yang matang, mulai dari fisik, mental, sampai materi.

Jadi sesungguhnya dalam melaksanakan haji kita tidak boleh main-main mengingat beratnya persiapan tersebut. Tetapi insyaAllah dengan niat yang ikhlas dan atas dasar iman kepada Allah Swt. semua halangan akan mudah untuk dilalui. Lalu apakah haji itu sebenarnya? Apakah hanya sekedar ‘jalan-jalan’ ke Baitullah (rumah Allah Swt.)? Atau ada makna lain yang tersembunyi? Untuk itu penulis akan mencoba untuk menangkap makna sesungguhnya dari pelaksanaan haji yang tentunya sebatas pengetahuan dan pemahaman penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritikan dan masukan apabila ada uraian yang dirasa oleh rekan-rekan kurang ataupun tidak tepat.

Sebelum membahas lebih jauh, penulis ingin mengingatkan bahwa sesungguhnya ada dua dimensi dalam pelaksanaan haji, yaitu: dimensi vertikal (Hablumminallah) dan dimensi horizontal (Hablumminannas). Haji, jika kita lihat dari tata cara pelaksanaannya, merupakan suatu rangkaian pengulangan sejarah dari tiga anak manusia dalam upaya mereka mencapai tauhid. Mereka itu adalah Nabi Ibrahim as, Nabi Ismail as, dan Siti Hajar (istri kedua Nabi Ibrahim as dan ibunda Nabi Ismail as). Sekarang penulis akan mencoba merunutkan arti penting dari rukun haji.

Makna Ihram
Sebelumnya, pernahkah anda bertanya mengapa kita diwajibkan untuk memakai pakaian ihram pada waktu haji? Lalu mengapa pakaian ihram tersebut tidak boleh dijahit? Dan mengapa harus berwarna putih serta terbuat dari bahan yang sama? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka kita harus merujuk kepada salah satu firman Allah Swt. yang menyatakan bahwa sesungguhnya manusia diciptakan dengan status yang sama yakni sebagai khalifah di bumi (QS. 6:165, QS. 10:14) dan sesungguhnya yang membedakan manusia dihadapan Allah Swt. adalah iman dan taqwa (QS. 49:13). Dengan memakai ihram, maka manusia dibebaskan dari status-status yang bersifat duniawi. Kita tidak akan pernah tahu siapa saja yang sedang berhaji ketika itu, mungkin ada pengusaha, artis, atau mungkin pejabat diantara kita karena ketika kita berhaji, maka satu-satunya status yang melekat pada diri kita adalah sebagai hamba Allah Swt., tidak lebih.

Makna lain yang terkandung dalam pemakaian pakaian ihram adalah sesungguhnya kita menghadap Allah Swt. dalam ketelanjangan. Itu sebabnya kita dilarang untuk menjahit ihram. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa kita datang menghadap Allah Swt. dalam ketelanjangan? Sebenarnya hal tersebut merupakan perumpamaan dimana kita diminta untuk menghadap Allah Swt. dengan apa adanya, tidak terjebak oleh materi-materi duniawi, seperti pakaian sehari-hari yang, kembali, dapat melekatkan kita kepada status yang ada di dalam masyarakat.

Selain itu, pernahkah anda menyadari bahwa dengan memakai ihram, sesungguhnya kita diingatkan bahwa kehidupan di dunia ini tidaklah abadi, melainkan hanya senda gurau belaka (QS. 29:64). Dalam hal ini, pakaian ihram dianalogikan sebagai kain kafan yang setiap saat dapat membalut tubuh kita. Untuk itu kita harus menyadari benar konsep inna lillahi wa inna ilaihi raji’un yang mengandung arti bahwa kita semua adalah makhluk ciptaan Allah Swt. dan kepada-Nyalah kita akan kembali.

Pemaparan di atas merupakan makna dari ihram apabila ditinjau dari dimensi yang pertama, yaitu dimensi vertikal. Lalu apakah makna ihram apabila dilihat dari dimensi yang kedua, yaitu horizontal? Sesungguhnya, makna yang terkandung sangatlah sederhana yaitu kita diminta untuk menanggalkan segala kepalsuan dan diminta untuk senantiasa bertindak apa adanya. Salah satu budaya negatif dari masyarakat Indonesia yang mengandung unsur kepalsuan tersebut adalah budaya hipokrit atau mungkin kita lebih mengenalnya dalam kalimat asal bapak senang (ABS). Hipokrit atau munafik, merupakan suatu sikap dimana kita melegalkan kedustaan demi tercapainya keinginan pribadi. Sebagai contoh, kita sering mendengar seseorang memuji atasannya demi kenaikan pangkat, bukan karena atasannya memang layak untuk dipuji karena kepribadiannya ataupun etos kerjanya.

Di samping itu, dengan memakai pakaian ihram kita disadarkan untuk melepaskan diri dari kesombongan, klaim superioritas, maupun ketidaksamaan derajat atas manusia yang lain. Oleh karena itu, kita diharuskan agar senantiasa berbuat baik serta mengedepankan sikap untuk saling menghormati dengan sesama. Apabila hal ini dapat terwujud, maka cita-cita akan perdamaian, toleransi, ataupun kerukunan masyarakat akan lebih mudah untuk direalisasikan.

Makna Thawaf
Thawaf merupakan rangkaian dari ibadah haji dimana kita diharuskan untuk mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali. Pada hakekatnya, pelaksanaan thawaf dapat diartikan sebagai tindakan meniru perilaku alam semesta yang senantiasa ‘berdzikir’ kepada Allah Swt. Dengan mempelajari ilmu pengetahuan alam, kita dapat mengetahui bahwa sesungguhnya benda-benda alam senantiasa bergerak. Gunung yang besar dan kokoh ternyata bergerak (bergeser), bulan bergerak dengan mengelilingi bumi, bumi bergerak dengan mengelilingi matahari, dan mataharipun bergerak mengelilingi pusat dari gugusan-gugusan bintang yaitu galaksi bima sakti (milky way) atau yang kita kenal dengan sebutan black hole. Inilah makna thawaf dalam dimensi vertikal, yaitu penegasan bahwa sesungguhnya kita merupakan bagian dari alam semesta yang tunduk dan patuh kepada Sang Pencipta, yakni Allah Swt. dan diharuskan untuk senantiasa mengingat-Nya.

Dalam dimensi horizontal, kita diminta untuk senantiasa hidup dengan penuh keteraturan seperti keteraturan gerak benda-benda alam raya. Bayangkan apabila gerakan yang dilakukan oleh benda-benda tersebut tidak teratur, tentunya akan mengakibatkan chaos (suatu keadaan dengan penuh ketidakteraturan) yang tentunya dapat membawa kehancuran kepada benda-benda alam itu sendiri. Sama halnya dengan benda-benda alam tersebut, manusia juga dapat mengalami kehancuran apabila tidak hidup dalam keteraturan karena dapat memicu konflik. Keseimbangan hidup, itulah kunci agar kita dapat hidup dalam keteraturan, ingat, alam raya diciptakan juga atas dasar konsep keseimbangan (QS. 55: 7-9).

Selain masalah keteraturan, dalam melaksanakan thawaf kita juga diingatkan bahwa sesungguhnya kehidupan setiap manusia senantiasa berputar. Mungkin hari ini kita berada dalam kebahagian, tetapi mungkin esok kita hidup dalam kesusahan. Dan sesungguhnya semua itu merupakan cobaan dari Allah Swt. yang ingin menguji sampai sejauh mana tingkat keimanan kita.

Makna Sa’i
Setelah berthawaf, maka kita diminta untuk melakukan sa’i, yaitu: berlari-lari kecil antara bukit shafa dan bukit marwah. Untuk lebih mudah memahami sa’i, maka ada baiknya apabila kita kembali mengingat peristiwa sewaktu Nabi Ibrahim as meninggalkan anaknya, Nabi Ismail as, beserta istrinya, Siti Hajar di suatu lahan tandus yang sekarang ini kita kenal dengan nama Mekkah. Kecintaan dan keikhlasan kepada Allah Swt. adalah wujud dari dimensi vertikal yang dapat kita ambil sebagai pelajaran. Mungkinkah Anda meninggalkan istri dan anak Anda yang baru lahir di sebuah lahan tandus dan tidak berpenghuni? Dan adakah alasan lain untuk melakukan hal tersebut selain dari wujud kecintaan dan keikhlasan Anda kepada Allah Swt. Tuhan sekalian alam? Sesungguhnya ini adalah wujud konkret dari apa yang kita sebut dengan Tauhid.

Keikhlasan Nabi Ibrahim as untuk meninggalkan istri dan anaknya dan keikhlasan Siti Hajar untuk ditinggalkan suami tercinta karena semata-mata perintah Allah Swt. merupakan suatu hal yang dapat kita jadikan pelajaran, apalagi di masa yang sekarang ini dimana kita dengan mudahnya melalaikan perintah Allah Swt., bahkan yang sederhana seperti menjaga kebersihan sampai yang wajib seperti shalat, karena hal-hal yang bersifat duniawi. Wahai anak-anak Adam masihkah engkau tidak menyadari bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanya senda gurau belaka, dan sesungguhnya akhirat itu merupakan kehidupan yang sebenarnya?! Janganlah pernah bergantung kepada suatu hal yang hanya sesaat, tetapi bergantunglah kepada sesuatu yang abadi, yaitu: Allah Swt. Mengapa demikian? karena sesungguhnya bergantung kepada suatu yang sesaat merupakan suatu kesia-siaan.

Sementara itu, dalam dimensi horizontal sa’i merupakan wujud dari kasih sayang ibu kepada anaknya. Diceritakan bahwa ketika Siti Hajar ditinggalkan, ia mempunyai persiapan air yang cukup, tetapi ketika persediaanya mulai menipis, rasa panik mulai menghinggapi dirinya dan ia pun segera berlari-lari dari bukit shafa ke bukit marwah untuk mencari air. Ketika ia mulai lelah karena tidak menemukan air, tiba-tiba ia tercengang ketika melihat air yang memancar dari bawah padang pasir. Kemudian secara spontan ia seakan berbicara kepada air yang memancar itu agar berkumpul karena takut air itu akan kembali ke dalam pasir. Air inilah yang kini kita kenal dengan istilah air zam-zam yang berasal dari bahasa ibrani yang berarti “kumpullah-kumpullah”.

Dalam makna yang lain, sa’i mengajarkan kepada kita bahwa apabila kita ingin mendapatkan sesuatu, maka kita harus berusaha terlebih dahulu. Hanya saja dewasa ini manusia menginginkan sesuatu dengan instan karena tidak ingin lagi bersusah payah apabila ingin mendapatkan sesuatu, bahkan terkadang sampai menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya itu.

Makna Wuquf
Wuquf di (bukit) Arafah merupakan rangkaian ibadah haji setelah sa’i. Konon pada saat Nabi Adam as. diturunkan ke bumi, beliau terpisah dengan istrinya yaitu Siti Hawa, kemudian Allah Swt. mempertemukan mereka kembali di bukit Arafah. Oleh karena itu, ada semacam anggapan bahwa bukit Arafah adalah bukit jodoh, apabila seseorang berdo’a di bukit tersebut untuk mendapatkan jodoh, konon dia akan mendapatkan jodoh. Tetapi sesungguhnya itu semua tidak lebih dari sekedar legenda atau mitos.

Rasulullah Saw. pernah bersabda bahwa haji itu adalah Arafah, maksudnya adalah bahwa tidak akan diterima haji seseorang apabila ia meninggalkan wuquf di Arafah. Lalu pertanyaannya adalah apa yang sesungguhnya menyebabkan wuquf di Arafah sangat penting? Hal itu disebabkan karena ketika sedang melakukan wuquf, Nabi Muhammad Saw. mendapat wahyu terakhir yang menyatakan bahwa Allah Swt. telah meridhai Islam sebagai agama umat manusia (QS. 5:3). Selain itu, Nabi juga pernah menyampaikan khutbatul wada’ (khutbah perpisahan) yaitu khutbah terakhir Nabi sebelum meninggal -beberapa bulan kemudian.

Dalam khutbah tersebut ada beberapa hal penting yang perlu dihayati, khutbah tersebut dibuka oleh Nabi dengan pertanyaan: “Wahai sekalian umat manusia, tahukah kamu dalam bulan apa kamu ini, di hari apa kamu ini, dan di negeri apa kamu ini?” Kemudian para hadirin menjawab: “Kita semuanya ada dalam hari yang suci, bulan yang suci, dan di tanah yang suci.”

Mendengar jawaban tersebut, Nabi melanjutkan khutbahnya: “Oleh karena itu, ingatlah bahwa hidupmu, hartamu, dan kehormatanmu itu suci, seperti sucinya harimu ini, dan bulanmu ini, di negeri yang suci ini, sampai kamu datang menghadap Tuhan.” Sejenak Nabi terdiam, tetapi kemudian berkata lagi: “Sekarang dengarkan aku, dengarkanlah aku, maka kamu akan hidup tenang; ingatlah kamu tidak boleh menindas orang, tidak boleh berbuat zhalim kepada orang lain, dan tidak boleh mengambil harta orang lain.”

Dari penjelasan di atas, penulis melihat bahwa makna wuquf dari dimensi vertikal adalah kembali sucinya kita di mata Allah Swt., tetapi sucinya diri kita harus selalu disertai dengan makna horizontal wuquf, yaitu dimana kita harus senantiasa menghargai dan menghormati orang lain dengan cara tidak menindas, tidak berbuat zhalim, dan tidak mengambil harta orang lain.

Kesimpulan
Dari uraian di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa sesungguhnya dalam pelaksanaan ibadah haji, nilai-nilai kemanusiaan sangat dikedepankan. Jika kita memperhatikan ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an yang membahas masalah haji, maka semua ayat-ayat tersebut menekankan kepada kemaslahatan dan perikemanusiaan. Bahkan khutbah terakhir Nabi di Arafah dapat dikatakan sebagai pidato (khutbah) pertama yang mengangkat tema Hak Asasi Manusia (HAM) yang sekarang ini sedang banyak dibicarakan oleh kalangan barat.

Oleh sebab itu, jika kita berbicara tentang haji mabrur, maka yang dimaksud adalah bagaimana kita dapat mewujudkan makna ibadah haji tersebut dalam solidaritas sosial. Di kalangan kaum sufi ada suatu kisah menarik yang dapat memberi gambaran menganai hal ini. Alkisah, ada sepasang suami-istri yang sederhana, tetapi bertekad untuk menunaikan haji. Untuk mewujudkan tekad tersebut, mereka bekerja keras dan bersusah payah, hasil yang mereka peroleh kemudian mereka tabung. Setelah bertahun-tahun menabung, akhirnya tabungan mereka telah cukup untuk bekal perjalanan. Mereka pun akhirnya berhaji. Tetapi, sebelum sampai ke Mekkah, mereka melewati sebuah kampung yang rata-rata penduduknya sangat miskin. Mereka melihat banyak anak-anak yang menderita busung lapar; mereka juga melihat anak-anak yang tidak berpakaian. Suami-istri itu iba. Mereka berpikir bahwa naik haji memang merupakan perintah Tuhan, tetapi itu hanya dinikmati oleh mereka berdua. Sedangkan di depan mereka sedang terlihat pemandangan yang mengenaskan. Mereka kemudian berpikir, “Bukankah lebih baik apabila bekal kita diberikan kepada mereka yang lebih membutuhkan?”

Akhirnya mereka berdua sepakat untuk memberikan tabungan mereka selama bertahun-tahun itu kepada penduduk kampung tersebut. Mereka pun batal berhaji. Namun ketika sampai di rumah, ada seseorang, yang mereka tidak kenal sama sekali, yang menyambut mereka dengan ucapan: “Selamat datang dari haji mabrur wahai hamba Allah yang mulia.” Mendengar ucapan tersebut, mereka sama sekali tidak mengerti. Mereka pun menjelaskan bahwa mereka tidak jadi berhaji. Tetapi orang tersebut menjelaskan bahwa apa yang mereka lakukan di perjalanan itulah yang sesungguhnya disebut haji mabrur. Setelah berkata demikian, orang tersebut kemudian menghilang. Dalam riwayat, orang tersebut adalah malaikat yang diserupakan dengan manusia oleh Allah Swt.

Dari kisah di atas, kita dapat mengambil substansi sesungguhnya dari apa yang disebut dengan haji mabrur, yang ternyata dapat diperoleh tanpa melakukan ibadah haji secara formal. Kini marilah kita renungkan sindiran dari guru kita, Alm. Buya Hamka kepada mereka yang baru pulang dari Tanah Suci dengan pertanyaan: “Apakah ada oleh-oleh lain yang kau bawa selain air zam-zam?” Tentu kita dapat memahami bahwa ‘oleh-oleh’ yang dimaksud disini adalah haji mabrur. Semoga saudara-saudara kita yang kini sedang berhaji dapat menjadi haji mabrur dalam makna yang sesungguhnya. Last but not least, sungguh percuma bagi mereka yang berhaji apabila tidak dapat menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.

Selasa, 22 September 2009

Baca, Diskusi, Aksi

Manusia adalah makhluk tertinggi diantara makhluk ciptaan Allah. Salah satu wujud pembeda antara manusia dan makhluk lainnya adalah akal. Aristoteles kemudian menyatakan bahwa manusia adalah hewan yang berpikir. Pada dasarnya, secara fisik dan mental (secara umum), manusia dan hewan tidak ada bedanya, kedua makhluk tersebut memiliki kesamaan, seperti: kepala, alat pernafasan, alat untuk berjalan (fisik) dan rasa emosi seperti kasih sayang (mental). Namun manusia diberikan sebuah akal untuk berpikir yang digunakan untuk membuat penemuan-penemuan ataupun menilai baik dan buruknya sesuatu. Tentu saja kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh hewan ataupun makhluk hidup lainnya.
Dalam terminologi Islam, akal tersebut diberikan Allah guna memudahkan tugas manusia di muka bumi sebagai pengganti Allah, atau biasa disebut dengan istilah khalifah. Coba bayangkan, semua kemampuan Allah -seperti mencipta (membuat), berkehendak, menentukan baik buruknya segala sesuatu, ditambah dengan 99 sifat Allah- diberikan kepada manusia, walaupun dengan kadar yang lebih rendah, melalui penggunaan akal.
Namun sayangnya, tidak semua akal dapat berfungsi dengan optimal dengan sendirinya. Manusia kemudian dapat meningkatkan ataupun mengurangi kemampuan akalnya. Salah satu media untuk memaksimalkan akal adalah dengan cara membaca, bahkan kata perintah dari membaca, bacalah (Iqra’), merupakan kata pertama yang menjadi wahyu dari Allah.
Hal ini menandakan pentingnya kedudukan membaca di mata Allah karena dengan membaca manusia akan semakin mendekatkan diri dengan kebenaran, yang pada akhirnya akan membawa manusia kepada pengetahuan mengenai Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa yang menguasai seluruh alam semesta.
Dengan membaca pula, manusia akan dapat membekali diri dengan berbagai pengetahuan yang nantinya akan digunakan sebagai modal berharga dalam menjalankan tugas manusia sebagai khalifah. Membaca sendiri dapat diartikan ke dalam dua jenis: membaca dalam arti harfiah dan membaca dalam arti falsafi. Dalam arti harfiah, membaca diartikan sebagai kegiatan melihat dan memahami isi dari apa yang tertulis. Media yang digunakan dalam jenis ini adalah buku, majalah, koran, ataupun media lainnya yang tertulis.
Sedangkan dalam arti falsafi, membaca adalah kegiatan untuk memahami fenomena yang terjadi di sekitar kita. Bentuk membaca jenis ini pun beragam, dapat ditinjau dari fenomena alam maupun fenomena sosial di dalam masyarakat. Membaca jenis inilah, terutama dalam bentuk pembacaan akan fenomena alam, yang merupakan cikal bakal munculnya ilmu pengetahuan.
Lalu apakah proses optimalisasi akal berhenti setelah membaca? Tentu saja tidak! Karena membaca hanyalah tahapan pertama dari proses berpikir. Setelah membekali diri dengan bacaan-bacaan, maka langkah selanjutnya yang harus ditempuh oleh setiap manusia adalah dengan mengobyektifkan bacaan-bacaan tersebut. Tujuan dari mengobyektifkan bacaan-bacaan yang ada adalah untuk mendapatkan ilmu pengetahuan secara komprehensif (luas) sekaligus menghindari adanya unsur-unsur subyektifitas.
Dengan adanya pemahaman yang obyektif, manusia akan lebih mudah untuk menentukan benar atau salahnya sesuatu. Jika manusia telah memasuki fase ini, maka cahaya kebenaran pun akan semakin terang menunjukkan jalan. Media untuk mendapatkan obyektifitas tersebut biasanya ditempuh melalui diskusi-diskusi, baik dalam bentuk individu dengan individu; individu dengan kelompok; maupun antara kelompok dengan kelompok.
Untuk mengoptimalkan diskusi, setiap manusia kemudian diharuskan untuk mengedepankan beberapa unsur, yaitu: keterbukaan yang diartikan sebagai sikap untuk menerima segala bentuk pendapat ataupun pandangan yang diberikan oleh individu maupun kelompok lain, dan sikap saling menghargai diantara para peserta dengan menganggap bahwa setiap pendapat yang dikemukakan, dengan segala argumentasi yang jelas dan rasional, adalah bagian dari proses optimalisasi pemikiran, yang tentunya harus dihargai.
Dalam setiap diskusi, manusia, ketika hendak menyatakan pemikiran-pemikirannya, hendaklah berpegang teguh pada empat prinsip kebenaran. Pertama, setiap pemikiran haruslah dapat diterima oleh akal sehat atau dalam kata lain rasional. Kedua, obyektif dalam arti setiap pemikiran haruslah berasal dari berbagai sumber. Ketiga, dapat diterima secara luas atau bersifat universal. Keempat, mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan atau manusiawi.
Jika dalam suatu diskusi terjadi perdebatan, maka hal itu sebenarnya merupakan sebuah proses yang positif, jadi biarkan saja. Akan tetapi, apabila suasana menjadi memanas dan tingkat emosi semakin meningkat, maka alangkah bijaknya apabila diskusi dipending atau dihentikan karena ditakutkan semua argumen yang dikemukakan tidak lagi obyektif dan akan memicu perkelahian. Sedangkan apabila kita dihadapkan pada suatu diskusi dengan orang yang keras kepala atau yang tidak setuju dengan pendapat kita, maka beradu argumenlah dengan cara yang beradab.
Setelah melalui proses membaca dan diskusi, maka manusia dihadapkan pada tahap terakhir yaitu aksi. Maksud dari kata aksi disini adalah bahwa manusia, dengan kemampuan akal pikirannya dan modal bacaan sekaligus obyektifitas yang dimiliki, diharapkan dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran positif yang bermanfaat bagi seluruh alam semesta.
Cara yang paling efektif dalam menjalankan aksi tersebut adalah dengan menulis semua gagasan dan ide yang ada di kepala kita untuk kemudian disebarkan kepada khalayak ramai. Dengan menulis, manusia kemudian membuktikan secara nyata akan penggunaan atau optimalisasi dari akal pikiran. Memang semua proses itu tidaklah mudah dan instan. Untuk itulah manusia kemudian dilatih kesabaran dan perjuangannya dalam menggapai ilmu pengetahuan. Dan apabila manusia dapat melewati semua proses pemikiran itu, maka sesungguhnya ia telah membuktikan dirinya sebagai pribadi unggul dan terpilih. Sesungguhnya sangatlah jarang manusia yang memiliki ilmu pengetahuan seperti ini.
Namun kelemahan umum manusia setelah melewati proses pemikiran tersebut adalah bahwasanya mereka cenderung menjadi sombong dan merasa puas diri. Padahal apakah mereka sesungguhnya tahu bahwa hakekat pengetahuan yang ada di alam semesta bagaikan seluas tujuh samudera, sementara kemampuan akal manusia tidak lebih daripada buih-buih di lautan yang terhempas oleh gelombang.
Oleh karena itu, sudah seyogyanya manusia jangan pernah merasa sombong atas pengetahuan yang telah dimilikinya. Sesungguhnya sangatlah mustahil bagi mereka untuk menguasai seluruh ilmu pengetahuan karena kesempurnaan ilmu hanyalah milik Allah semata. Dengan demikian sepanjang hidupnya, manusia kemudian diharapkan untuk terus menggali ilmu pengetahuan yang ada di alam semesta. Jika Rasulullah menyatakan bahwa “tuntutlah ilmu sampai negeri China”, maka pernyataan itu tentu dapat diluaskan maknanya menjadi “tuntutlah ilmu sampai liang lahat”.
Pada akhirnya, manusia akan mendapatkan manfaat dari apa yang telah diupayakannya: membaca, diskusi, dan aksi. Ada tiga manfaat utama dari ilmu pengetahuan. Pertama, dengan adanya ilmu pengetahuan, maka hal itu menandakan eksistensi sebagai manusia. Descrates pernah berkata “Aku berpikir, maka Aku ada”. Makna dari pernyataan itu adalah bahwasanya manusia baru dapat dikatakan ada apabila ia telah melalui proses berpikir. Mengapa demikian? Karena itulah yang menjadi pembeda utama antara manusia dengan makhluk lainnya. Jika manusia tidak menggunakan akal pikirannya, lantas apa bedanya ia dengan hewan atau tumbuhan?
Kedua, adanya eksistensi akan mengantarkan manusia pada pengakuan dari manusia lainnya. Pengakuan tersebut, lahir dari segala upaya manusia untuk mengoptimalkan pemikirannya. Pengakuan juga bukan berarti ditunjukkan oleh gelar semata seperti yang didapat setelah melalui jenjang pendidikan formal, melainkan oleh seberapa besar ilmu pengetahuan itu dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan membawa manusia ke arah yang lebih baik. Jadi, manusia yang berilmu tidak harus dicirikan dengan orang-orang yang memiliki gelar tertentu. Karena apalah artinya ilmu pengetahuan atau gelar, apabila tidak diaplikasikan dan membawa manfaat bagi umat.
Ketiga, pada akhirnya ilmu pengetahuan akan membawa manusia pada kebahagiaan. Kebahagiaan itu sendiri dapat dirasakan di dua tempat, yaitu di dunia sebagai modal untuk menjadi khalifah di muka bumi, termasuk mendapat eksistensi; dan di akhirat dengan adanya pernyataan dari Allah bahwa “Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (QS: al-Mujadilah: 11).
Sebagai kesimpulan, sesungguhnya setiap manusia, secara tidak langsung, diminta untuk terus mencari ilmu pengetahuan sepanjang hidupnya. Kata Iqra’ sebagai yang pertama diwahyukan Allah kepada manusia merupakan tanda bagi manusia untuk memaksimalkan akal pikirannya sebagai harta yang paling berharga yang diberikan oleh Allah. Untuk itulah setiap manusia yang tidak berupaya mengoptimalkan akal pikirannya, patut diragukan esensi kemanusiaannya.

Senin, 21 September 2009

Gerakan Mahasiswa di Persimpangan Jalan

Berbicara mengenai sejarah Bangsa Indonesia modern, dimulai pada awal abad ke-20, maka kita secara tidak langsung juga membicarakan sejarah pemuda dan mahasiswa di republik ini. Bagaimana tidak jikalau hampir peristiwa penting saat itu dipengaruhi oleh peranan pemuda dan mahasiswa. Berdirinya Boedi Oetomo, Sarekat Islam, sampai Partai Komunis Indonesia (PKI) menunjukkan arti penting keberadaan kaum muda dan mahasiswa dalam mengubah arah perjuangan bangsa, dari perjuangan dengan senjata menuju perjuangan yang lebih bersifat politis-diplomatis.
Kaum muda dan mahasiswa mendapatkan momentum dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan demi mencapai kemerdekaan bangsa melalui peristiwa Sumpah Pemuda. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 tersebut merupakan arena bagi berkumpulnya berbagai macam organisasi kepemudaan yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, sebut saja Islamiten Jong Bond, Jong Java, maupun Jong Sunda. Bersama mereka berikrar untuk memiliki satu tanah air yang sama, satu bangsa yang sama, dan juga satu bahasa yang sama.
Dengan adanya Sumpah Pemuda yang menunjukkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa, perjuangan rakyat untuk mewujudkan kemerdekaan semakin nyata. Hasilnya pada tahun 1944, Jepang menjanjikan kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia. Namun para pemuda dan mahasiswa melihat janji tersebut dengan kacamata yang lain. Mereka menganggap bahwa apabila bangsa ini mendapatkan kemerdekaan dengan cara yang demikian, maka itu berarti menegasikan perjuangan rakyat yang telah berjuang selama 350 tahun lamanya. Artinya buat apa berjuang sejak lama kalau pada akhirnya kemerdekaan akan didapatkan?
Akhirnya para pemuda dan mahasiswa, yang dipimpin oleh Sukarni, melakukan langkah berani dengan menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Di tempat itulah kaum muda dan mahasiswa menuntut dwitunggal untuk mempercepat proklamasi mengingat tentara Jepang telah kalah melawan sekutu. Desakan itu pun berhasil mengubah pandangan Bung Karno dan Bung Hatta untuk menyegerakan proklamasi yang akhirnya terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Tentu kita tidak bisa membayangkan apa jadinya sejarah negara ini apabila kaum muda dan mahasiswa tidak melakukan peristiwa penculikan tersebut. Mungkin saja kemerdekaan kita akan terlambat atau mungkin malah masih dijajah untuk sekian waktu.
Pada fase perkembangan berikutnya kaum muda dan mahasiswa juga berperan penting dalam upaya mempertahankan kemerdekaan yang telah didapat dengan ikut mengangkat senjata menghadapi sekutu. Mereka dengan gigih berjuang hingga baris terdepan dalam menghadapi musuh, walaupun dengan minimnya pengetahuan mengenai perang dan dengan terbatasnya persenjataan yang dimiliki. Ketidaktakutan mereka menghadapi musuh telah mengajari kita akan arti pentingnya kemerdekaan bagi suatu bangsa.
Sejak ditandatanganinya Konferensi Meja Bundar (KMB), yang merupakan tanda akan pengakuan dunia internasional terhadap kemerdekaan negara Indonesia, peran kaum muda dan mahasiswa dalam negeri ini mulai berkurang. Mereka lantas kembali ke kampus-kampus guna menimba ilmu yang nantinya akan digunakan untuk membangun negeri tercinta. Akan tetapi, peristiwa politik dalam negeri yang tidak stabil, ditambah dengan semakin tingginya harga kebutuhan masyarakat pada tahun 1960-an, menyebabkan mahasiswa memutuskan untuk kembali bertindak.
Hanya saja, tindakan yang dilakukan para mahasiswa saat itu merupakan suatu hal yang baru bagi mereka sendiri. Aksi turun ke jalan meminta adanya perubahan ternyata cukup efektif dalam memberika pressure kepada pemerintah. Aksi yang berlangsung semakin menjadi-jadi pasca insiden G 30 S (Gerakan 30 September). Jumlah mahasiswa yang turun ke jalan semakin banyak dan menjadi semakin berani dalam bertindak. Hasilnya, bersama dengan tentara, Soekarno dan rezim Orde Lama berhasil ditumbangkan. Sejarah Indonesia pun bergeser, dan lagi-lagi dipengaruhi oleh aksi mahasiswa.
Semenjak aktivitas mahasiswa tahun 1960-an, istilah pergerakan mahasiswa mulai dikenal luas di tengah masyarakat. Pergerakan itu sendiri dimaksudkan sebagai aksi menekan pemerintah akan isu-isu strategis yang dianggap bertentangan dengan norma-norma sosial-kemasyarakatan yang ada saat itu dan tidak pro-rakyat. Salah satu contoh lanjutan dari pergerakan tersebut terjadi pada medio 1970-an ketika para mahasiswa kembali turun ke jalan. Kali ini mereka menyoroti masalah impor dari Jepang yang dianggap melebihi batas dan ditakutkan akan mematikan industri domestik. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 15 Januari 1974, dikenal dengan istilah Malari I, berubah menjadi malapetaka ketika pemerintah membubarkan aksi dengan tindakan represif. Para pemimpin aksi, seperti Hariman siregar, lantas dihukum penjara. Era represif pemerintah pun dimulai.
Empat tahun semenjak peristiwa Malari I, mahasiswa kembali turun ke jalan, namun lagi-lagi berhasil dihalang-halangi sekaligus dibubarkan oleh pemerintah. Peristiwa yang dikenal dengan sebutan Malari II tersebut menandakan berakhirnya gerakan mahasiswa dengan dikeluarkannya keputusan Normalisasi Keadaan Kampus/ Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) oleh menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. Dengan adanya NKK/BKK, maka mahasiswa tidak diperkenankan untuk melakukan aksi di jalan lagi. Mahasiswa kemudian memasuki masa suram perjuangan.
Kendatipun berada dalam “pengawasan” NKK/BKK, para mahasiswa tidak berhenti berjuang begitu saja. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian memfokuskan diri pada kegiatan-kegiatan kampus, seperti melalui Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Namun ada juga yang tetap berjuang menghadapi kebijakan-kebijakan pemerintah, seperti yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) pada akhir dasawarsa 1980-an. Perjuangan tersebut kendatipun mengalami kegagalan namun setidaknya telah memberikan pelajaran yang berharga akan pentingnya memperjuangkan kebenaran.
Puncak dari pergerakan mahasiswa terjadi pada tahun 1998 ketika mereka berhasil menduduki gedung MPR/DPR dan menggulingkan Soeharto beserta Orde Baru dari pucuk kekuasaan. Keberhasilan para mahasiswa merupakan kemenangan bagi rakyat atas nama demokrasi. Peristiwa yang dikenal dengan istilah reformasi tersebut telah mengantarkan negara ini meninggalkan rezim otoritarianisme menuju masa transisi demokrasi. Dan sejarah kembali membuktikan akan peran besar mahasiswa dalam menentukan masa depan republik ini.
Akan tetapi, semenjak peristiwa reformasi, pergerakan mahasiswa seakan-akan mulai kehilangan arah dan berada di persimpang jalan. Banyak diantara mahasiswa yang terjebak oleh iming-iming kekuasaan dan materi semata sehingga rela meninggalkan bahkan menjual idealismenya. Tidak adanya arah perjuangan bagi mahasiswa dewasa ini juga telah membuat pergerakan seakan liar dan tidak jarang ditunggangi oleh berbagai macam kepentingan. Lantas apa yang sebenarnya harus kita lakukan sebagai mahasiswa agar dapat kembali menentukan arah serta jalan yang sesuai dengan cita-cita bangsa? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus kembali mengingat substansi sejarah pergerakan mahasiswa yang telah diutarakan di atas sekaligus bercermin dan melakukan otokritik terhadap perjuangan yang sedang kita lakukan sekarang.
Mengingat sejarah pergerakan mahasiswa, maka kita akan melihat beberapa hal. Pertama, para mahasiswa berupaya berbicara atas nama kebenaran. Mahasiswa sebagai kaum intelektual selalu berupaya berbicara yang benar. Mereka tidak pernah berupaya untuk menutup-nutupi akan adanya fakta dilapangan. Prinsip mereka yang menyatakan: “Katakanlah itu benar apabila itu memang benar dan katakanlah itu salah apabila itu memang salah” berhasil menunjukkan jalan bagi pergerakan mahasiswa. Mereka tidak pernah gentar untuk menyatakan kebenaran, walaupun hal tersebut dapat menentang arus pemahaman yang ada di dalam masyarakat atau dapat mengancam nyawa mereka sendiri. Sehingga apabila pergerakan tidak lagi berjuang atas dasar kebenaran, maka itu menandakan bahwa para mahasiswa telah kehilangan arah sekaligus tujuan perjuangan.
Kedua, mereka selalu berjuang demi rakyat. Dalam suatu negara, keadilan dan kesejahteraan masyarakat merupakan syarat bagi terwujudnya negara yang ideal dan baik. Dua terma tersebut haruslah berjalan beriringan, tidak boleh yang satu lebih tinggi dari yang lain. Mahasiswa dalam hal ini selalu berjuang demi terwujudnya hal tersebut di dalam masyarakat. Sebagai masyarakat yang terpelajar mereka seringkali diposisikan sebagai kelas perantara antara pemerintah dengan rakyat. Mereka berupaya menyampaikan aspirasi rakyat, yang seharusnya dilakukan oleh para anggota dewan di Senayan, kepada pemerintah dan menyampaikan kebijakan pemerintah kepada rakyat. Keberpihakan pada rakyat terlihat dalam ayat tiga Tridarma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian masyarakat. Jadi apabila pergerakan mahasiswa sudah tidak lagi berpihak pada rakyat, maka hal tersebut telah mencederai nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh mahasiswa itu sendiri.
Ketiga, mahasiswa sebagai kaum pengusung idealisme. Mahasiswa berjuang atas dasar nilai-nilai yang ideal. Konsekuensinya adalah terkadang mereka dihadapkan pada situasi dimana mereka diharuskan mengorbankan segala sesuatu yang mereka miliki, baik itu harta, waktu, dan tenaga, demi terwujudnya nilai-nilai ideal tersebut. Pengorbanan tersebut seyogiyanya harus dilakukan tanpa pamrih. Dengan adanya idealisme tersebut, pergerakan mahasiswa menjadi hidup karena mereka selalu berbicara atas nilai-nilai yang seharusnya, das sollen, bukan yang senyatanya, das sein. Apabila nilai idealisme tersebut telah hilang dalam diri pergerakan mahasiswa, maka pergerakan tersebut tidaklah ubahnya dengan partai politik atau organisasi massa yang memang memiliki self of interest atau dalam kalimat lain vested interest.
Dari ketiga hal di atas, mahasiswa diharapkan dapat menjadi agent of change, yaitu kaum yang dapat membawa perubahan dari keburukan menjadi kebaikan. Apabila ada situasi yang buruk terjadi di dalam masyarakat, maka saatnya bagi mahasiswa untuk beraksi mengubah situasi buruk tersebut menjadi baik kembali. Sehingga mereka juga bertindak sebagai anjing penjaga yang apabila ada hal-hal yang tidak diinginkan mereka akan menggonggong dengan keras menuntut perubahan.
Lalu bagaimana dengan situasi dan kondisi mahasiswa saat ini? Marilah kita melakukan refleksi sejenak. Penulis dalam hal ini mencatat ada beberapa hal yang menjadi penyebab kemandekan pergerakan mahasiswa. Pertama, tidak adanya isu besar dan strategis. Melihat kembali pada sejarah, setiap pergerakan mahasiswa yang berskala besar terjadi karena adanya isu bersama. Pergerakan tahun 1966 terjadi karena adanya isu PKI dan penggulingan rezim Orde Lama. Pergerakan tahun 1974 disebabkan oleh adanya impor yang berlebihan. Dan pergerakan 1998 merupakan akibat dari sikap rezim Orde Baru yang otoritarian dan anti demokrasi. Fakta ini menggulirkan asumsi bahwa pergerakan mahasiswa yang ideal hanya mungkin terjadi apabila ada isu besar dan strategis yang dianggap mengancam keutuhan bangsa. Namun apakah isu besar itu ada semenjak reformasi? Jawabannya adalah tidak, tetapi bukan berarti pergerakan mahasiswa mandek dan terbagi-bagi ke dalam isu-isu yang skalanya lebih kecil. Memang hal tersebut dapat dibenarkan mengingat perbedaan pandangan dari setiap individu dan institusi, namun bukan berarti pergerakan tersebut selalu terbagi ke dalam beberapa isu. Idealnya ada saatnya dimana pergerakan mahasiswa harus bersatu menghadapi isu-isu yang penting, seperti dalam isu yang terkait dengan masalah keadilan maupun kesejahteraan rakyat.
Kedua, ada kesan bahwa beberapa pergerakan mahasiswa ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan pihak lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa pergerakan mahasiswa telah menjadi komoditas politik yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan pergerakan mahasiswa menjadi tarik ulur diantara kepentingan yang ada. Tidak jarang pula pergerakan mahasiswa dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk kepentingan mereka. Kondisi ini menyebabkan pergerakan mahasiswa dewasa ini menjadi terpecah belah menyesuaikan kepentingan-kepentingan yang ada. Sudah saatnya pergerakan mahasiswa lebih waspada, kritis, dan bijak akan adanya upaya penunggangan oleh kepentingan pihak-pihak tertentu.
Ketiga, pergerakan mahasiswa cenderung bersifat pragmatis. Adanya kepentingan-kepentingan pihak lain secara tidak langsung telah membuat pergerakan mahasiswa menjadi pragmatis, dalam arti hanya berjuang untuk kepentingan mereka sendiri (mahasiswa) dan melupakan esensi pergerakan mahasiswa yang seharusnya berjuang untuk rakyat. Istilah-istilah seperti aksi tanpa logistik adalah anarki secara tidak langsung menyatakan bahwa pergerakan mahasiswa dewasa ini juga membutuhkan “gizi”. Padahal dahulu para mahasiswa berjuang atas dasar idealisme sehingga tidak ragu untuk mengorbankan kepentingan pribadi, tetapi dewasa ini? Tentu hal tersebut telah banyak berubah. Memang dalam setiap pergerakan dibutuhkan suplai materi, namun seharusnya hal tersebut tidak dijadikan patokan utama dalam berjuang. Kebenaran serta keadilan dan kesejahteraan rakyat itulah yang seharusnya menjadi patokan utama, bukannya materi sesaat.
Keempat, pergerakan mahasiswa dewasa ini terkadang bersifat anarkis. Citra kurang mengenakkan yang timbul di masyarakat terhadap pergerakan mahasiswa adalah mengenai kasus anarkisme. Tidak sedikit dari aksi mahasiswa saat ini yang cenderung bersikap anarki. Anarki disini terjadi ketika para mahasiswa yang sedang melakukan aksi tidak dipenuhi tuntutannya. Mereka lantas cenderung bertindak destruktif dengan merusak fasilitas yang ada dan cenderung bersifat provokatif yang dapat memicu konflik fisik dengan petugas tempat mereka melakukan aksi. Jika hal ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin masyarakat justru akan bersikap antipati terhadap pergerakan mahasiswa itu sendiri.
Melihat kondisi di atas tidak ada kata lain selain perubahan. Tugas kita saat ini adalah melakukan redefinisi total mengenai fungsi dan peran mahasiswa sebagai aktor intelektual pembaru dalam rangka mendukung dan menyukseskan pembangunan bangsa dan negara. Untuk mewujudkan mahasiswa yang mandiri, intelek, dan solid, ada beberapa langkah yang dapat kita lakukan. Pertama, mengembalikan arah perjuangan pergerakan mahasiswa ke jalurnya yang tepat, yaitu jalan menuju kebenaran sekaligus keadilan dan kesejahteraan rakyat. Dengan kembali kepada arah yang benar dan sesuai, pergerakan mahasiswa diharapkan dapat mengemban misinya yang ideal. Memang hal tersebut tidak akan mudah, namun bukan berarti kita akan berpangku tangan dan menyerahkan semuanya pada nasib. Tentu tidaklah demikian, salah satu langkahnya adalah dengan mensosialisasikan hal ini kepada teman-teman mahasiswa yang lain, namun bukan berarti penulis menggurui teman-teman mahasiswa yang lain. Justru dengan adanya dialog mengenai masalah ini diharapkan pergerakan mahasiswa di masa depan akan menjadi lebih baik.
Kedua, pada dasarnya kita memiliki isu besar yang harus dihadapi bersama yaitu mengenai transisi demokrasi di Indonesia yang sedang berlangsung. Tugas kita sebagai mahasiswa adalah untuk mengawal proses transisi tersebut ke arah yang lebih baik, bukannya kembali ke masa lalu. Peranan mahasiswa sebagai bagian dari pressure group diharapkan dapat mengingatkan sekaligus mengkritisi berbagai kebijakan yang diambil pemerintah. Dengan adanya situasi tersebut peran mahasiswa akan semakin menjadi nyata dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
Ketiga, guna mewujudkan cita-cita bersama, maka persatuan dan kebersamaan di antara para mahasiswa menjadi hal yang mutlak diperlukan. Memang benar bahwa di antara mahasiswa pasti ada perbedaan pandangan. Namun harus kita pahami bahwa masalah tersebut adalah hal yang biasa terjadi. Justru adanya pertentangan tersebut diharapkan mampu mendewasakan masing-masing pihak dan merumuskan arah perjuangan bersama yang lebih matang.
Ketiga hal di atas mungkin terkesan idealis dan sulit untuk diwujudkan, namun, seperti yang telah penulis kemukakan di atas, bukan berarti hal tersebut tidak dapat diwujudkan. Pertanyaannya kini adalah apakah kita mau bersungguh-sungguh melakukan hal tersebut? Hal ini mengingat kita akan memiliki banyak tantangan dalam mewujudkan cita-cita tersebut. Bagi kawan-kawan yang menyelami arti mahasiswa sesungguhnya pasti akan mampu melewati berbagai tantangan yang ada. Minimal perjuangan yang akan kalian hadapi mampu menjadikan kawan-kawan pribadi yang lebih baik, yang memiliki kecerdasan dan kepekaan sosial yang tinggi. Insya Allah.
Yakin Usaha Sampai, dan
Hidup Mahasiswa!!!