Selasa, 22 September 2009

Baca, Diskusi, Aksi

Manusia adalah makhluk tertinggi diantara makhluk ciptaan Allah. Salah satu wujud pembeda antara manusia dan makhluk lainnya adalah akal. Aristoteles kemudian menyatakan bahwa manusia adalah hewan yang berpikir. Pada dasarnya, secara fisik dan mental (secara umum), manusia dan hewan tidak ada bedanya, kedua makhluk tersebut memiliki kesamaan, seperti: kepala, alat pernafasan, alat untuk berjalan (fisik) dan rasa emosi seperti kasih sayang (mental). Namun manusia diberikan sebuah akal untuk berpikir yang digunakan untuk membuat penemuan-penemuan ataupun menilai baik dan buruknya sesuatu. Tentu saja kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh hewan ataupun makhluk hidup lainnya.
Dalam terminologi Islam, akal tersebut diberikan Allah guna memudahkan tugas manusia di muka bumi sebagai pengganti Allah, atau biasa disebut dengan istilah khalifah. Coba bayangkan, semua kemampuan Allah -seperti mencipta (membuat), berkehendak, menentukan baik buruknya segala sesuatu, ditambah dengan 99 sifat Allah- diberikan kepada manusia, walaupun dengan kadar yang lebih rendah, melalui penggunaan akal.
Namun sayangnya, tidak semua akal dapat berfungsi dengan optimal dengan sendirinya. Manusia kemudian dapat meningkatkan ataupun mengurangi kemampuan akalnya. Salah satu media untuk memaksimalkan akal adalah dengan cara membaca, bahkan kata perintah dari membaca, bacalah (Iqra’), merupakan kata pertama yang menjadi wahyu dari Allah.
Hal ini menandakan pentingnya kedudukan membaca di mata Allah karena dengan membaca manusia akan semakin mendekatkan diri dengan kebenaran, yang pada akhirnya akan membawa manusia kepada pengetahuan mengenai Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa yang menguasai seluruh alam semesta.
Dengan membaca pula, manusia akan dapat membekali diri dengan berbagai pengetahuan yang nantinya akan digunakan sebagai modal berharga dalam menjalankan tugas manusia sebagai khalifah. Membaca sendiri dapat diartikan ke dalam dua jenis: membaca dalam arti harfiah dan membaca dalam arti falsafi. Dalam arti harfiah, membaca diartikan sebagai kegiatan melihat dan memahami isi dari apa yang tertulis. Media yang digunakan dalam jenis ini adalah buku, majalah, koran, ataupun media lainnya yang tertulis.
Sedangkan dalam arti falsafi, membaca adalah kegiatan untuk memahami fenomena yang terjadi di sekitar kita. Bentuk membaca jenis ini pun beragam, dapat ditinjau dari fenomena alam maupun fenomena sosial di dalam masyarakat. Membaca jenis inilah, terutama dalam bentuk pembacaan akan fenomena alam, yang merupakan cikal bakal munculnya ilmu pengetahuan.
Lalu apakah proses optimalisasi akal berhenti setelah membaca? Tentu saja tidak! Karena membaca hanyalah tahapan pertama dari proses berpikir. Setelah membekali diri dengan bacaan-bacaan, maka langkah selanjutnya yang harus ditempuh oleh setiap manusia adalah dengan mengobyektifkan bacaan-bacaan tersebut. Tujuan dari mengobyektifkan bacaan-bacaan yang ada adalah untuk mendapatkan ilmu pengetahuan secara komprehensif (luas) sekaligus menghindari adanya unsur-unsur subyektifitas.
Dengan adanya pemahaman yang obyektif, manusia akan lebih mudah untuk menentukan benar atau salahnya sesuatu. Jika manusia telah memasuki fase ini, maka cahaya kebenaran pun akan semakin terang menunjukkan jalan. Media untuk mendapatkan obyektifitas tersebut biasanya ditempuh melalui diskusi-diskusi, baik dalam bentuk individu dengan individu; individu dengan kelompok; maupun antara kelompok dengan kelompok.
Untuk mengoptimalkan diskusi, setiap manusia kemudian diharuskan untuk mengedepankan beberapa unsur, yaitu: keterbukaan yang diartikan sebagai sikap untuk menerima segala bentuk pendapat ataupun pandangan yang diberikan oleh individu maupun kelompok lain, dan sikap saling menghargai diantara para peserta dengan menganggap bahwa setiap pendapat yang dikemukakan, dengan segala argumentasi yang jelas dan rasional, adalah bagian dari proses optimalisasi pemikiran, yang tentunya harus dihargai.
Dalam setiap diskusi, manusia, ketika hendak menyatakan pemikiran-pemikirannya, hendaklah berpegang teguh pada empat prinsip kebenaran. Pertama, setiap pemikiran haruslah dapat diterima oleh akal sehat atau dalam kata lain rasional. Kedua, obyektif dalam arti setiap pemikiran haruslah berasal dari berbagai sumber. Ketiga, dapat diterima secara luas atau bersifat universal. Keempat, mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan atau manusiawi.
Jika dalam suatu diskusi terjadi perdebatan, maka hal itu sebenarnya merupakan sebuah proses yang positif, jadi biarkan saja. Akan tetapi, apabila suasana menjadi memanas dan tingkat emosi semakin meningkat, maka alangkah bijaknya apabila diskusi dipending atau dihentikan karena ditakutkan semua argumen yang dikemukakan tidak lagi obyektif dan akan memicu perkelahian. Sedangkan apabila kita dihadapkan pada suatu diskusi dengan orang yang keras kepala atau yang tidak setuju dengan pendapat kita, maka beradu argumenlah dengan cara yang beradab.
Setelah melalui proses membaca dan diskusi, maka manusia dihadapkan pada tahap terakhir yaitu aksi. Maksud dari kata aksi disini adalah bahwa manusia, dengan kemampuan akal pikirannya dan modal bacaan sekaligus obyektifitas yang dimiliki, diharapkan dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran positif yang bermanfaat bagi seluruh alam semesta.
Cara yang paling efektif dalam menjalankan aksi tersebut adalah dengan menulis semua gagasan dan ide yang ada di kepala kita untuk kemudian disebarkan kepada khalayak ramai. Dengan menulis, manusia kemudian membuktikan secara nyata akan penggunaan atau optimalisasi dari akal pikiran. Memang semua proses itu tidaklah mudah dan instan. Untuk itulah manusia kemudian dilatih kesabaran dan perjuangannya dalam menggapai ilmu pengetahuan. Dan apabila manusia dapat melewati semua proses pemikiran itu, maka sesungguhnya ia telah membuktikan dirinya sebagai pribadi unggul dan terpilih. Sesungguhnya sangatlah jarang manusia yang memiliki ilmu pengetahuan seperti ini.
Namun kelemahan umum manusia setelah melewati proses pemikiran tersebut adalah bahwasanya mereka cenderung menjadi sombong dan merasa puas diri. Padahal apakah mereka sesungguhnya tahu bahwa hakekat pengetahuan yang ada di alam semesta bagaikan seluas tujuh samudera, sementara kemampuan akal manusia tidak lebih daripada buih-buih di lautan yang terhempas oleh gelombang.
Oleh karena itu, sudah seyogyanya manusia jangan pernah merasa sombong atas pengetahuan yang telah dimilikinya. Sesungguhnya sangatlah mustahil bagi mereka untuk menguasai seluruh ilmu pengetahuan karena kesempurnaan ilmu hanyalah milik Allah semata. Dengan demikian sepanjang hidupnya, manusia kemudian diharapkan untuk terus menggali ilmu pengetahuan yang ada di alam semesta. Jika Rasulullah menyatakan bahwa “tuntutlah ilmu sampai negeri China”, maka pernyataan itu tentu dapat diluaskan maknanya menjadi “tuntutlah ilmu sampai liang lahat”.
Pada akhirnya, manusia akan mendapatkan manfaat dari apa yang telah diupayakannya: membaca, diskusi, dan aksi. Ada tiga manfaat utama dari ilmu pengetahuan. Pertama, dengan adanya ilmu pengetahuan, maka hal itu menandakan eksistensi sebagai manusia. Descrates pernah berkata “Aku berpikir, maka Aku ada”. Makna dari pernyataan itu adalah bahwasanya manusia baru dapat dikatakan ada apabila ia telah melalui proses berpikir. Mengapa demikian? Karena itulah yang menjadi pembeda utama antara manusia dengan makhluk lainnya. Jika manusia tidak menggunakan akal pikirannya, lantas apa bedanya ia dengan hewan atau tumbuhan?
Kedua, adanya eksistensi akan mengantarkan manusia pada pengakuan dari manusia lainnya. Pengakuan tersebut, lahir dari segala upaya manusia untuk mengoptimalkan pemikirannya. Pengakuan juga bukan berarti ditunjukkan oleh gelar semata seperti yang didapat setelah melalui jenjang pendidikan formal, melainkan oleh seberapa besar ilmu pengetahuan itu dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan membawa manusia ke arah yang lebih baik. Jadi, manusia yang berilmu tidak harus dicirikan dengan orang-orang yang memiliki gelar tertentu. Karena apalah artinya ilmu pengetahuan atau gelar, apabila tidak diaplikasikan dan membawa manfaat bagi umat.
Ketiga, pada akhirnya ilmu pengetahuan akan membawa manusia pada kebahagiaan. Kebahagiaan itu sendiri dapat dirasakan di dua tempat, yaitu di dunia sebagai modal untuk menjadi khalifah di muka bumi, termasuk mendapat eksistensi; dan di akhirat dengan adanya pernyataan dari Allah bahwa “Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (QS: al-Mujadilah: 11).
Sebagai kesimpulan, sesungguhnya setiap manusia, secara tidak langsung, diminta untuk terus mencari ilmu pengetahuan sepanjang hidupnya. Kata Iqra’ sebagai yang pertama diwahyukan Allah kepada manusia merupakan tanda bagi manusia untuk memaksimalkan akal pikirannya sebagai harta yang paling berharga yang diberikan oleh Allah. Untuk itulah setiap manusia yang tidak berupaya mengoptimalkan akal pikirannya, patut diragukan esensi kemanusiaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar