Senin, 21 September 2009

Gerakan Mahasiswa di Persimpangan Jalan

Berbicara mengenai sejarah Bangsa Indonesia modern, dimulai pada awal abad ke-20, maka kita secara tidak langsung juga membicarakan sejarah pemuda dan mahasiswa di republik ini. Bagaimana tidak jikalau hampir peristiwa penting saat itu dipengaruhi oleh peranan pemuda dan mahasiswa. Berdirinya Boedi Oetomo, Sarekat Islam, sampai Partai Komunis Indonesia (PKI) menunjukkan arti penting keberadaan kaum muda dan mahasiswa dalam mengubah arah perjuangan bangsa, dari perjuangan dengan senjata menuju perjuangan yang lebih bersifat politis-diplomatis.
Kaum muda dan mahasiswa mendapatkan momentum dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan demi mencapai kemerdekaan bangsa melalui peristiwa Sumpah Pemuda. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 tersebut merupakan arena bagi berkumpulnya berbagai macam organisasi kepemudaan yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, sebut saja Islamiten Jong Bond, Jong Java, maupun Jong Sunda. Bersama mereka berikrar untuk memiliki satu tanah air yang sama, satu bangsa yang sama, dan juga satu bahasa yang sama.
Dengan adanya Sumpah Pemuda yang menunjukkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa, perjuangan rakyat untuk mewujudkan kemerdekaan semakin nyata. Hasilnya pada tahun 1944, Jepang menjanjikan kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia. Namun para pemuda dan mahasiswa melihat janji tersebut dengan kacamata yang lain. Mereka menganggap bahwa apabila bangsa ini mendapatkan kemerdekaan dengan cara yang demikian, maka itu berarti menegasikan perjuangan rakyat yang telah berjuang selama 350 tahun lamanya. Artinya buat apa berjuang sejak lama kalau pada akhirnya kemerdekaan akan didapatkan?
Akhirnya para pemuda dan mahasiswa, yang dipimpin oleh Sukarni, melakukan langkah berani dengan menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Di tempat itulah kaum muda dan mahasiswa menuntut dwitunggal untuk mempercepat proklamasi mengingat tentara Jepang telah kalah melawan sekutu. Desakan itu pun berhasil mengubah pandangan Bung Karno dan Bung Hatta untuk menyegerakan proklamasi yang akhirnya terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Tentu kita tidak bisa membayangkan apa jadinya sejarah negara ini apabila kaum muda dan mahasiswa tidak melakukan peristiwa penculikan tersebut. Mungkin saja kemerdekaan kita akan terlambat atau mungkin malah masih dijajah untuk sekian waktu.
Pada fase perkembangan berikutnya kaum muda dan mahasiswa juga berperan penting dalam upaya mempertahankan kemerdekaan yang telah didapat dengan ikut mengangkat senjata menghadapi sekutu. Mereka dengan gigih berjuang hingga baris terdepan dalam menghadapi musuh, walaupun dengan minimnya pengetahuan mengenai perang dan dengan terbatasnya persenjataan yang dimiliki. Ketidaktakutan mereka menghadapi musuh telah mengajari kita akan arti pentingnya kemerdekaan bagi suatu bangsa.
Sejak ditandatanganinya Konferensi Meja Bundar (KMB), yang merupakan tanda akan pengakuan dunia internasional terhadap kemerdekaan negara Indonesia, peran kaum muda dan mahasiswa dalam negeri ini mulai berkurang. Mereka lantas kembali ke kampus-kampus guna menimba ilmu yang nantinya akan digunakan untuk membangun negeri tercinta. Akan tetapi, peristiwa politik dalam negeri yang tidak stabil, ditambah dengan semakin tingginya harga kebutuhan masyarakat pada tahun 1960-an, menyebabkan mahasiswa memutuskan untuk kembali bertindak.
Hanya saja, tindakan yang dilakukan para mahasiswa saat itu merupakan suatu hal yang baru bagi mereka sendiri. Aksi turun ke jalan meminta adanya perubahan ternyata cukup efektif dalam memberika pressure kepada pemerintah. Aksi yang berlangsung semakin menjadi-jadi pasca insiden G 30 S (Gerakan 30 September). Jumlah mahasiswa yang turun ke jalan semakin banyak dan menjadi semakin berani dalam bertindak. Hasilnya, bersama dengan tentara, Soekarno dan rezim Orde Lama berhasil ditumbangkan. Sejarah Indonesia pun bergeser, dan lagi-lagi dipengaruhi oleh aksi mahasiswa.
Semenjak aktivitas mahasiswa tahun 1960-an, istilah pergerakan mahasiswa mulai dikenal luas di tengah masyarakat. Pergerakan itu sendiri dimaksudkan sebagai aksi menekan pemerintah akan isu-isu strategis yang dianggap bertentangan dengan norma-norma sosial-kemasyarakatan yang ada saat itu dan tidak pro-rakyat. Salah satu contoh lanjutan dari pergerakan tersebut terjadi pada medio 1970-an ketika para mahasiswa kembali turun ke jalan. Kali ini mereka menyoroti masalah impor dari Jepang yang dianggap melebihi batas dan ditakutkan akan mematikan industri domestik. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 15 Januari 1974, dikenal dengan istilah Malari I, berubah menjadi malapetaka ketika pemerintah membubarkan aksi dengan tindakan represif. Para pemimpin aksi, seperti Hariman siregar, lantas dihukum penjara. Era represif pemerintah pun dimulai.
Empat tahun semenjak peristiwa Malari I, mahasiswa kembali turun ke jalan, namun lagi-lagi berhasil dihalang-halangi sekaligus dibubarkan oleh pemerintah. Peristiwa yang dikenal dengan sebutan Malari II tersebut menandakan berakhirnya gerakan mahasiswa dengan dikeluarkannya keputusan Normalisasi Keadaan Kampus/ Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) oleh menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. Dengan adanya NKK/BKK, maka mahasiswa tidak diperkenankan untuk melakukan aksi di jalan lagi. Mahasiswa kemudian memasuki masa suram perjuangan.
Kendatipun berada dalam “pengawasan” NKK/BKK, para mahasiswa tidak berhenti berjuang begitu saja. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian memfokuskan diri pada kegiatan-kegiatan kampus, seperti melalui Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Namun ada juga yang tetap berjuang menghadapi kebijakan-kebijakan pemerintah, seperti yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) pada akhir dasawarsa 1980-an. Perjuangan tersebut kendatipun mengalami kegagalan namun setidaknya telah memberikan pelajaran yang berharga akan pentingnya memperjuangkan kebenaran.
Puncak dari pergerakan mahasiswa terjadi pada tahun 1998 ketika mereka berhasil menduduki gedung MPR/DPR dan menggulingkan Soeharto beserta Orde Baru dari pucuk kekuasaan. Keberhasilan para mahasiswa merupakan kemenangan bagi rakyat atas nama demokrasi. Peristiwa yang dikenal dengan istilah reformasi tersebut telah mengantarkan negara ini meninggalkan rezim otoritarianisme menuju masa transisi demokrasi. Dan sejarah kembali membuktikan akan peran besar mahasiswa dalam menentukan masa depan republik ini.
Akan tetapi, semenjak peristiwa reformasi, pergerakan mahasiswa seakan-akan mulai kehilangan arah dan berada di persimpang jalan. Banyak diantara mahasiswa yang terjebak oleh iming-iming kekuasaan dan materi semata sehingga rela meninggalkan bahkan menjual idealismenya. Tidak adanya arah perjuangan bagi mahasiswa dewasa ini juga telah membuat pergerakan seakan liar dan tidak jarang ditunggangi oleh berbagai macam kepentingan. Lantas apa yang sebenarnya harus kita lakukan sebagai mahasiswa agar dapat kembali menentukan arah serta jalan yang sesuai dengan cita-cita bangsa? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus kembali mengingat substansi sejarah pergerakan mahasiswa yang telah diutarakan di atas sekaligus bercermin dan melakukan otokritik terhadap perjuangan yang sedang kita lakukan sekarang.
Mengingat sejarah pergerakan mahasiswa, maka kita akan melihat beberapa hal. Pertama, para mahasiswa berupaya berbicara atas nama kebenaran. Mahasiswa sebagai kaum intelektual selalu berupaya berbicara yang benar. Mereka tidak pernah berupaya untuk menutup-nutupi akan adanya fakta dilapangan. Prinsip mereka yang menyatakan: “Katakanlah itu benar apabila itu memang benar dan katakanlah itu salah apabila itu memang salah” berhasil menunjukkan jalan bagi pergerakan mahasiswa. Mereka tidak pernah gentar untuk menyatakan kebenaran, walaupun hal tersebut dapat menentang arus pemahaman yang ada di dalam masyarakat atau dapat mengancam nyawa mereka sendiri. Sehingga apabila pergerakan tidak lagi berjuang atas dasar kebenaran, maka itu menandakan bahwa para mahasiswa telah kehilangan arah sekaligus tujuan perjuangan.
Kedua, mereka selalu berjuang demi rakyat. Dalam suatu negara, keadilan dan kesejahteraan masyarakat merupakan syarat bagi terwujudnya negara yang ideal dan baik. Dua terma tersebut haruslah berjalan beriringan, tidak boleh yang satu lebih tinggi dari yang lain. Mahasiswa dalam hal ini selalu berjuang demi terwujudnya hal tersebut di dalam masyarakat. Sebagai masyarakat yang terpelajar mereka seringkali diposisikan sebagai kelas perantara antara pemerintah dengan rakyat. Mereka berupaya menyampaikan aspirasi rakyat, yang seharusnya dilakukan oleh para anggota dewan di Senayan, kepada pemerintah dan menyampaikan kebijakan pemerintah kepada rakyat. Keberpihakan pada rakyat terlihat dalam ayat tiga Tridarma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian masyarakat. Jadi apabila pergerakan mahasiswa sudah tidak lagi berpihak pada rakyat, maka hal tersebut telah mencederai nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh mahasiswa itu sendiri.
Ketiga, mahasiswa sebagai kaum pengusung idealisme. Mahasiswa berjuang atas dasar nilai-nilai yang ideal. Konsekuensinya adalah terkadang mereka dihadapkan pada situasi dimana mereka diharuskan mengorbankan segala sesuatu yang mereka miliki, baik itu harta, waktu, dan tenaga, demi terwujudnya nilai-nilai ideal tersebut. Pengorbanan tersebut seyogiyanya harus dilakukan tanpa pamrih. Dengan adanya idealisme tersebut, pergerakan mahasiswa menjadi hidup karena mereka selalu berbicara atas nilai-nilai yang seharusnya, das sollen, bukan yang senyatanya, das sein. Apabila nilai idealisme tersebut telah hilang dalam diri pergerakan mahasiswa, maka pergerakan tersebut tidaklah ubahnya dengan partai politik atau organisasi massa yang memang memiliki self of interest atau dalam kalimat lain vested interest.
Dari ketiga hal di atas, mahasiswa diharapkan dapat menjadi agent of change, yaitu kaum yang dapat membawa perubahan dari keburukan menjadi kebaikan. Apabila ada situasi yang buruk terjadi di dalam masyarakat, maka saatnya bagi mahasiswa untuk beraksi mengubah situasi buruk tersebut menjadi baik kembali. Sehingga mereka juga bertindak sebagai anjing penjaga yang apabila ada hal-hal yang tidak diinginkan mereka akan menggonggong dengan keras menuntut perubahan.
Lalu bagaimana dengan situasi dan kondisi mahasiswa saat ini? Marilah kita melakukan refleksi sejenak. Penulis dalam hal ini mencatat ada beberapa hal yang menjadi penyebab kemandekan pergerakan mahasiswa. Pertama, tidak adanya isu besar dan strategis. Melihat kembali pada sejarah, setiap pergerakan mahasiswa yang berskala besar terjadi karena adanya isu bersama. Pergerakan tahun 1966 terjadi karena adanya isu PKI dan penggulingan rezim Orde Lama. Pergerakan tahun 1974 disebabkan oleh adanya impor yang berlebihan. Dan pergerakan 1998 merupakan akibat dari sikap rezim Orde Baru yang otoritarian dan anti demokrasi. Fakta ini menggulirkan asumsi bahwa pergerakan mahasiswa yang ideal hanya mungkin terjadi apabila ada isu besar dan strategis yang dianggap mengancam keutuhan bangsa. Namun apakah isu besar itu ada semenjak reformasi? Jawabannya adalah tidak, tetapi bukan berarti pergerakan mahasiswa mandek dan terbagi-bagi ke dalam isu-isu yang skalanya lebih kecil. Memang hal tersebut dapat dibenarkan mengingat perbedaan pandangan dari setiap individu dan institusi, namun bukan berarti pergerakan tersebut selalu terbagi ke dalam beberapa isu. Idealnya ada saatnya dimana pergerakan mahasiswa harus bersatu menghadapi isu-isu yang penting, seperti dalam isu yang terkait dengan masalah keadilan maupun kesejahteraan rakyat.
Kedua, ada kesan bahwa beberapa pergerakan mahasiswa ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan pihak lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa pergerakan mahasiswa telah menjadi komoditas politik yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan pergerakan mahasiswa menjadi tarik ulur diantara kepentingan yang ada. Tidak jarang pula pergerakan mahasiswa dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk kepentingan mereka. Kondisi ini menyebabkan pergerakan mahasiswa dewasa ini menjadi terpecah belah menyesuaikan kepentingan-kepentingan yang ada. Sudah saatnya pergerakan mahasiswa lebih waspada, kritis, dan bijak akan adanya upaya penunggangan oleh kepentingan pihak-pihak tertentu.
Ketiga, pergerakan mahasiswa cenderung bersifat pragmatis. Adanya kepentingan-kepentingan pihak lain secara tidak langsung telah membuat pergerakan mahasiswa menjadi pragmatis, dalam arti hanya berjuang untuk kepentingan mereka sendiri (mahasiswa) dan melupakan esensi pergerakan mahasiswa yang seharusnya berjuang untuk rakyat. Istilah-istilah seperti aksi tanpa logistik adalah anarki secara tidak langsung menyatakan bahwa pergerakan mahasiswa dewasa ini juga membutuhkan “gizi”. Padahal dahulu para mahasiswa berjuang atas dasar idealisme sehingga tidak ragu untuk mengorbankan kepentingan pribadi, tetapi dewasa ini? Tentu hal tersebut telah banyak berubah. Memang dalam setiap pergerakan dibutuhkan suplai materi, namun seharusnya hal tersebut tidak dijadikan patokan utama dalam berjuang. Kebenaran serta keadilan dan kesejahteraan rakyat itulah yang seharusnya menjadi patokan utama, bukannya materi sesaat.
Keempat, pergerakan mahasiswa dewasa ini terkadang bersifat anarkis. Citra kurang mengenakkan yang timbul di masyarakat terhadap pergerakan mahasiswa adalah mengenai kasus anarkisme. Tidak sedikit dari aksi mahasiswa saat ini yang cenderung bersikap anarki. Anarki disini terjadi ketika para mahasiswa yang sedang melakukan aksi tidak dipenuhi tuntutannya. Mereka lantas cenderung bertindak destruktif dengan merusak fasilitas yang ada dan cenderung bersifat provokatif yang dapat memicu konflik fisik dengan petugas tempat mereka melakukan aksi. Jika hal ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin masyarakat justru akan bersikap antipati terhadap pergerakan mahasiswa itu sendiri.
Melihat kondisi di atas tidak ada kata lain selain perubahan. Tugas kita saat ini adalah melakukan redefinisi total mengenai fungsi dan peran mahasiswa sebagai aktor intelektual pembaru dalam rangka mendukung dan menyukseskan pembangunan bangsa dan negara. Untuk mewujudkan mahasiswa yang mandiri, intelek, dan solid, ada beberapa langkah yang dapat kita lakukan. Pertama, mengembalikan arah perjuangan pergerakan mahasiswa ke jalurnya yang tepat, yaitu jalan menuju kebenaran sekaligus keadilan dan kesejahteraan rakyat. Dengan kembali kepada arah yang benar dan sesuai, pergerakan mahasiswa diharapkan dapat mengemban misinya yang ideal. Memang hal tersebut tidak akan mudah, namun bukan berarti kita akan berpangku tangan dan menyerahkan semuanya pada nasib. Tentu tidaklah demikian, salah satu langkahnya adalah dengan mensosialisasikan hal ini kepada teman-teman mahasiswa yang lain, namun bukan berarti penulis menggurui teman-teman mahasiswa yang lain. Justru dengan adanya dialog mengenai masalah ini diharapkan pergerakan mahasiswa di masa depan akan menjadi lebih baik.
Kedua, pada dasarnya kita memiliki isu besar yang harus dihadapi bersama yaitu mengenai transisi demokrasi di Indonesia yang sedang berlangsung. Tugas kita sebagai mahasiswa adalah untuk mengawal proses transisi tersebut ke arah yang lebih baik, bukannya kembali ke masa lalu. Peranan mahasiswa sebagai bagian dari pressure group diharapkan dapat mengingatkan sekaligus mengkritisi berbagai kebijakan yang diambil pemerintah. Dengan adanya situasi tersebut peran mahasiswa akan semakin menjadi nyata dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
Ketiga, guna mewujudkan cita-cita bersama, maka persatuan dan kebersamaan di antara para mahasiswa menjadi hal yang mutlak diperlukan. Memang benar bahwa di antara mahasiswa pasti ada perbedaan pandangan. Namun harus kita pahami bahwa masalah tersebut adalah hal yang biasa terjadi. Justru adanya pertentangan tersebut diharapkan mampu mendewasakan masing-masing pihak dan merumuskan arah perjuangan bersama yang lebih matang.
Ketiga hal di atas mungkin terkesan idealis dan sulit untuk diwujudkan, namun, seperti yang telah penulis kemukakan di atas, bukan berarti hal tersebut tidak dapat diwujudkan. Pertanyaannya kini adalah apakah kita mau bersungguh-sungguh melakukan hal tersebut? Hal ini mengingat kita akan memiliki banyak tantangan dalam mewujudkan cita-cita tersebut. Bagi kawan-kawan yang menyelami arti mahasiswa sesungguhnya pasti akan mampu melewati berbagai tantangan yang ada. Minimal perjuangan yang akan kalian hadapi mampu menjadikan kawan-kawan pribadi yang lebih baik, yang memiliki kecerdasan dan kepekaan sosial yang tinggi. Insya Allah.
Yakin Usaha Sampai, dan
Hidup Mahasiswa!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar