Akhirnya Basuki
Tjahaya Purnama (Ahok) resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai
Gubernur DKI Jakarta. Pelantikan Ahok sempat menuai pro dan kontra terkait
prosedur hukum. Selain itu ada sejumlah kelompok yang juga mempermasalahkan
pengangkatan Ahok sebagai gubernur karena latar belakang suku dan agama.
Demokrasi dan Multikulturalisme
Penolakan Ahok
sebagai gubernur karena alasan suku dan agama patut kita sesalkan. Setidaknya
ada beberapa poin yang dapat dikedepankan. Pertama,
pernyataan tersebut tidak selaras dengan pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Semenjak reformasi 1998, demokratisasi telah menjadi salah satu agenda utama
dalam pembentukan sistem sosial dan politik masyarakat Indonesia.
Dengan adanya
demokrasi, maka pemikiran maupun tindakan diskriminatif maupun represif
kelompok mayoritas tehadap kelompok minoritas tidak lagi dapat diberlakukan.
Selama kelompok minoritas tercatat sebagai warga negara, maka mereka memiliki
hak dan kewajiban yang sama dalam berbagai aspek kehidupan.
Secara politik,
kelompok minoritas juga memiliki hak untuk memilih pemimpin maupun dipilih
sebagai calon pemimpin masyarakat, mulai dari level paling sederhana (Ketua RT)
sampai yang paling tinggi (Presiden). Jadi jelas, tindakan beberapa kelompok
masyarakat yang menolak Ahok karena suku dan agama dapat dianggap sebagai kemunduran
nilai-nilai demokrasi di Indonesia.
Kedua,
penolakan tersebut juga dianggap menciderai multikulturalisme yang ada di
Indonesia. Suka atau tidak, Indonesia adalah negara yang memiliki rakyat yang
bersifat majemuk. Mereka terdiri dari berbagai suku, agama, dan kebudayaan yang
beragam. Sudah sepatutnya bila keragaman ini dirayakan dengan cara positif,
seperti mengakui keberadaan suku dan agama lain untuk hidup damai, rukun,
toleran, tanpa ada diskriminasi dalam bentuk apapun.
Bukankah
keanekaragaman yang ada dalam masyarakat Indonesia telah dituangkan dengan
indah melalui semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang secara umum berarti walaupun
berbeda-beda namun tetap satu jua. Atas dasar multikulturalisme inilah tidak
sepatutnya Ahok ditolak sebagai gubernur.
Jika pun ada
kelompok yang hendak melakukan penolakan atas pencalonan Ahok, maka hal itu
harus didasari oleh alasan kuat, seperti: adanya pelanggaran hukum yang
dilakukan atau terkait kinerjanya yang dianggap tidak professional karena
kegagalan merealisasikan janji-janji pada saat kampanye dahulu.
Refleksi Politik Islam
Penulis dapat
memahami jika penolakan Ahok sebagai gubernur yang dilakukan oleh beberapa
ormas Islam turut dilandasi oleh adanya ayat-ayat dalam Al Qur’an yang melarang
kaum Muslim mengangkat pemimpin non-Muslim (QS. Al Maidah: 51). Belum lagi
dengan gaya kepemimpinan Ahok yang keras, tegas, terkesan arogan dan acapkali
mengeluarkan kalimat yang tidak enak untuk didengar.
Akan tetapi,
ormas-ormas Islam tersebut harus memahami jika mereka hidup dalam sistem
demokrasi. Artinya seseorang yang ingin menjadi pemimpin harus didukung oleh
suara mayoritas dalam Pemilu. Kemenangan Jokowi dan Ahok pada Pilkada DKI
Jakarta tahun 2012 menunjukkan bila sebagaian besar masyarakat Jakarta
menginginkan duet tersebut sebagai pemimpin mereka. Padahal mayoritas
masyarakat Jakarta adalah Muslim.
Dengan demikian
boleh dikatakan saat ini sebagian masyarakat Muslim memilih pemimpinnya tidak
lagi berdasarkan latar belakang suku maupun agama, melainkan karena karakter,
kapabilitas, pengalaman, dan popularitas calon pemimpin. Wajar bila dalam pro
dan kontra pengangkatan Ahok sebagai gubernur, banyak umat Islam yang turut
mendukungnya karena dilihat dari tindak-tanduknya selama ini yang dianggap
positif saat menjabat sebagai wakil gubernur.
Kenyataan ini
seharusnya menjadi momentum bagi pemimpin umat Islam untuk menggalakkan kembali
politik Islam dalam masyarakat. Ada beberapa hal yang kemudian harus
diperhatikan. Pertama, wajah politik
Islam yang dikedepankan tidak boleh berbasiskan kekerasan, melainkan kearifan
dan kebijaksanaan. Pemimpin umat dapat bercermin dari pelaksanaan politik Islam
pada masa Rasulullah di Madinah maupun di Cordoba yang mengedepankan semangat
multikulturalisme.
Kedua, saat
ini partai Islam terjebak pada pragmatisme kekuasaan, bukan memperjuangkan
nilai-nilai Islam dan kepentingan umat. Sehingga wajar apabila hingga saat ini
keinginan untuk melihat partai Islam yang satu dan solid masih jauh dari
harapan. Padahal bukankah fondasi sosial politik masyarakat Islam adalah ukhuwah Islamiyyah?
Ketiga,
untuk mensukseskan kedua hal di atas, maka dakwah mengenai masalah politik atau
siyasah harus lebih digalakkan. Boleh
dikatakan dukungan sebagian umat Islam kepada Ahok, bukan hanya didasari oleh
karakter kepemimpinan Ahok yang menarik, tetapi juga dikarenakan kurangnya
pengetahuan teks-teks agama terkait masalah politik.
Dengan adanya
dakwah politik Islam yang berbasiskan konsep rahmatan lil alamin, yang ditunjang dengan keberadaan partai Islam
yang amanah, diharapkan akan mampu menghasilkan kader-kader pemimpin umat yang
berkualitas di masa depan. Kualitas yang dimaksud tentunya bukan berasal dari
pencitraan, tetapi berasal dari keimanan dan ketaqwaan; ilmu yang luas;
visioner; kreatif; cakap dalam berkomunikasi; arif dan bijaksana dalam
mengambil keputusan; profesional dalam bekerja; mengayomi semua kelompok;
sekaligus tegas dalam mengambil keputusan.
Apabila ketiga
hal di atas dapat dikedepankan, maka harapan akan politik Islam yang lebih
kuat, solid, dan amanah akan lebih mudah diwujudkan. Kini pertanyaan besarnya
apakah mayoritas umat Islam mau mewujudkan hal tersebut? Wallahu’alam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar