Pada
Senin, 11 Mei 2015, Benyamin Netanyahu dilantik sebagai Perdana Menteri (PM)
Israel untuk kali keempat. Sayangnya pelantikan Netanyahu diiringi dengan
kekhawatiran bahwa upaya perdamaian antara Palestina dan Israel akan menemui
jalan terjal dan berliku.
Setidaknya
ada dua poin utama yang dapat dikemukakan terkait hal tersebut. Pertama, pada saat kampanye Pemilu
Parlemen (Knesset), yang diselenggarakan pada 17 Maret 2015, Netanyahu
menyatakan apabila Partai Likud memenangkan Pemilu, maka tidak akan pernah ada
negara Palestina yang berdaulat.
Partai
Likud sendiri berhasil memperoleh suara mayoritas sebesar 23,40% dan
mendapatkan 30 kursi di Knesset. Kemenangan Partai Likud bisa jadi menjadi batu
sandungan bagi proses perdamaian yang telah diupayakan selama ini. Karena salah
satu terobosan penting yang dianggap dapat menjadi pintu masuk untuk perdamaian
adalah dengan mengakui Palestina sebagai negara berdaulat.
Kedua, Netanyahu memutuskan untuk mengajak Partai Rumah Yahudi (JHP)
yang beraliran ultranasionalis sebagai mitra koalisi. Bahkan partai tersebut
mendapatkan posisi strategis di pemerintahan ketika Perdana Menteri (PM)
Benyamin Netanyahu menunjuk Naftali Bennett, Ketua JHP, sebagai Menteri
Pendidikan dan Ayelet Shaked sebagai Menteri Keadilan.
Masuknya
JHP tentu patut menjadi catatan tersendiri. Karena kendatipun JHP hanya
mendapatkan 8 kursi di Knesset, tetapi partai ini memainkan peran sebagai king maker bagi Netanyahu. Mengingat 8
suara itulah yang membuat Netanyahu berhasil mengumpulkan 61 suara di Knesset
sebagai jumlah minimal yang dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan.
Akan
tetapi, di lain pihak, JHP juga dapat menjadi sandungan bagi Netanyahu
mengingat platform politiknya yang keras dan tidak mengenal kompromi dengan
Palestina. Sebagai contoh, JHP adalah partai yang mendukung kebijakan
pembangunan pemukiman Yahudi di tanah Palestina, termasuk pembangunan sekitar
900 rumah di Ramat Shlomo, Yerusalem Timur.
Isu
pemukiman memang senantiasa menjadi persoalan yang sensitif bagi kedua negara.
Bagi Israel pembangunan pemukiman adalah keharusan guna menyediakan fasilitas
rumah untuk warganya. Selain itu, pembangunan pemukiman merupakan strategi
untuk memperluas wilayahnya secara de
facto.
Sementara
bagi Palestina, pembangunan pemukiman Israel akan mempersempit ruang wilayah
mereka. Apalagi pemerintah Palestina mencanangkan Yerusalem Timur sebagai
ibukota. Ada dugaan kuat jika pembangunan pemukiman tersebut memang sengaja
didesain oleh Israel untuk mempersempit wilayah Palestina. Potensi konflik
dikhawatirkan akan meningkat di antara warga Yahudi dan Palestina karena
kedekatan wilayah ini.
Selain
itu, catatan penting juga perlu disematkan pada Menteri Keadilan, Ayelet Shaked,
yang pernah membuat postingan di Facebook dimana dia mengutip pernyataan Uri
Elitzur bahwa Israel harus menyatakan perang dengan semua warga palestina,
termasuk orang tua dan para wanita; semua kota dan desa; serta semua property
dan infrastruktur.
Tidak
hanya itu, di dalam postingan tersebut juga terdapat kalimat yang menyamakan
anak-anak Palestina dengan ular. Postingan tersebut kemudian mendapatkan banyak
kecaman, termasuk dari PM Turki, Recep Tayyip Erdogan yang menyamakan Shaked
dengan Adolf Hitler.
Secercah Harapan
Namun di balik kekhawatiran atas
pemerintahan baru Israel, masih ada secercah harapan agar upaya perdamaian
tetap dilakukan. Pertama, pemerintahan
Netanyahu tidak memiliki fondasi yang kuat karena hanya didukung 61 suara di
Knesset dari total 120 suara. Artinya, Netanyahu akan berusaha untuk menjaga
hubungan di antara partai koalisi agar tidak terpecah dalam kebijakan-kebijakan
yang dibuat.
Konsekuensi lainnya adalah Netanyahu
juga harus mempertimbangkan dengan matang setiap kebijakan karena jangan sampai
memberikan angin untuk ditekan dengan keras oleh pihak oposisi. Hal ini
mengingat kesalahan sekecil apapun bisa dijadikan pintu masuk bagi oposisi
untuk menyatakan mosi tidak percaya.
Kedua,
mengingat status pemerintahan yang tidak kuat, bisa jadi Netanyahu akan
melakukan lobi-lobi untuk mengajak Partai Zionist Union (ZUP), pimpinan Isaac
Herzog, yang memiliki 24 suara di Knesset atau Partai Yesh Atid (YAP), pimpinan
Yair Lapid, yang memiliki 11 suara di Knesset untuk masuk ke dalam kabinet.
Selain membutuhkan ZUP atau YAP
untuk memperkuat posisi di pemerintahan, Netanyahu juga membutuhkan salah satu
atau kedua partai tersebut untuk menampilkan wajah pemerintahannya yang lebih
moderat.
Sinyalemen akan adanya reshuffle dalam waktu dekat tampak
dengan kosongnya posisi Menteri Luar Negeri. Padahal Naftali Bennett awalnya
berniat mendapatkan posisi tersebut untuk mensukseskan agenda JHP untuk tidak
melanjutkan proses perdamaian sekaligus mewujudkan upaya aneksasi 60% wilayah
Tepi Barat.
Akan
tetapi, Netanyahu sadar bahwa memberikan Bennett jabatan tersebut sama saja
akan memperkeruh hubungannya dengan dunia internasional, termasuk Amerika
Serikat (AS) yang selama ini mendorong upaya perdamaian. Untuk sementara
Netanyahu akan merangkap jabatan tersebut dan mengangkat seorang deputi dari
partainya untuk tugas harian.
Ketiga, kendatipun Netanyahu tidak menginginkan berdirinya negara
Palestina yang berdaulat, tetapi dia akan mendapatkan tekanan masyarakat
internasional untuk melanjutkan upaya perdamaian yang selama ini telah
dilakukan. Desakan-desakan tersebut akan membuatnya memutuskan melanjutkan
perundingan, walaupun hanya sebatas formalitas agar dianggap telah berupaya
mewujudkan perdamaian.
Penulis
tidak bermaksud skeptis, namun selama Israel masih dipimpin oleh partai yang
berhaluan kanan, maka upaya mewujudkan perdamaian, atau minimal mengakui
Palestina yang berdaulat akan menjadi sebuah utopia semata. Dibutuhkan
desakan-desakan yang lebih konstruktif dari masyarakat internasional, khususnya
negara-negara Islam dan AS, sebagai pelindung Israel, agar upaya perdamaian
dapat dilanjutkan kembali dan membawa hasil yang positif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar