Senin, 18 Mei 2015

PELAJARAN DEMOKRASI DARI PEMILU BRITANNIA


Pada 7 Mei 2015, Britannia Raya sukses menyelenggarakan Pemilu untuk memilih anggota Parlemen. Partai Konservatif di luar dugaan berhasil meraih suara terbanyak dengan 331 kursi dari total 650 kursi yang diperebutkan. Jumlah tersebut lebih banyak 28 kursi dari Pemilu 2010. Padahal hasil polling sebelum Pemilu dilaksanakan menunjukkan jika Partai Konservatif tidak akan mendapatkan lebih dari 300 kursi.
Hasil mengecewakan justru dialami oleh Partai Buruh yang hanya meraih 232 kursi atau berkurang 24 kursi dari Pemilu sebelumnya. Partai Liberal Demokrat juga mendapatkan hasil buruk dimana mereka kehilangan 49 kursi dan harus puas dengan 8 kursi. Pencapaian positif justru didapatkan oleh Partai Nasional Skotlandia (SNP) yang mampu menambah 50 kursi di Pemilu tahun ini sehingga menjadikan partai ini memperoleh 56 wakil di Westminster.
Dengan hasil ini, Perdana Menteri (PM) incumbent, David Cameron, diyakini akan terpilih kembali sebagai kepala pemerintahan Britannia Raya. Jumlah 331 kursi yang dimiliki Partai Konservatif sudah cukup untuk membentuk pemerintahan, walaupun dengan status slight majority.

Pelajaran untuk Indonesia
            Selain kemenangan meyakinkan Partai Konservatif, Pemilu Britannia Raya juga menunjukkan beberapa hal positif yang layak menjadi pelajaran penting bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Penulis tentu tidak bermaksud untuk membandingkan situasi dan kondisi politik di antara kedua negara, melainkan hanya menunjukkan beberapa hal yang patut ditiru oleh Indonesia agar semakin matang dalam berdemokrasi.
            Pertama, rasa tanggung jawab besar yang dimiliki para pemimpin partai. Tanggung jawab ini dibuktikan dari sikap Ed Miliband (Buruh), Nick Clegg (Liberal Demokrat), dan Nigel Farage (UKIP) yang mengundurkan diri beberapa jam setelah hasil Pemilu menunjukkan kekalahan. Beruntung bagi Farage, surat permohonan pengunduran dirinya ditolak sehingga dia akan tetap menjabat sebagai Ketua Partai UKIP hingga Pemilu selanjutnya.
            Sikap ini menunjukkan adanya jiwa ksatria di dalam diri pemimpin di Britannia. Pemilu adalah bagaikan medan peperangan sehingga ketika seorang pemimpin gagal membawa partainya memenuhi target yang telah dicanangkan, maka pengunduran diri menjadi langkah yang harus diambil.
            Hal ini tentu berbeda dengan kondisi kepartaian di Indonesia dimana terdapat pemimpin yang jika memungkinkan akan berkuasa selama mungkin kendatipun partainya mengalami kekalahan dalam Pemilu. Rasa malu sepertinya menjadi suatu hal yang langka dalam perpolitikan tanah air.
            Kedua, para pemimpin partai di Britannia kebanyakan berusia sekitar 40-an tahun. Sebuah usia dengan pengalaman yang cukup matang ditunjang dengan semangat tinggi untuk membangun bangsa dan negara. Sebagai ilustrasi David Cameron ketika terpilih menjadi PM baru berusia 43 tahun. Sementara David Miliband ketika ditunjuk menjadi Menteri Luar Negeri tahun 2007 baru berusia 37 tahun.
            Di Indonesia, para pemimpin partai rata-rata telah berusia lebih dari 50 tahun. Bahkan ada pemimpin partai yang telah berusia lebih dari 60 tahun. Fenomena ini terjadi karena sistem politik Indonesia yang masih dipengaruhi oleh feodalisme. Lihat saja, ada partai yang terus mempertahankan seorang pemimpin karena mewarisi darah ayahnya. Ada juga pemimpin yang dipilih karena dialah sang pendiri partai. Sementara di partai lain fenomena yang muncul adalah siapa yang memiliki banyak uang, dialah yang akan terpilih sebagai ketua.
Padahal, idealnya usia 60 tahun ke atas sudah tidak lagi berkiprah sebagai politisi, melainkan negarawan. B.J. Habibie adalah sosok yang menarik dan layak dijadikan contoh. Selesai menjabat sebagai presiden, beliau tidak membuat partai maupun turut campur dalam politik praktis. Beliau mempercayakan generasi selanjutnya untuk mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan. Tetapi, beliau selalu siap sedia untuk memberikan masukan atas permasalahan yang ada apabila diminta.
Ketiga, salah satu cerita menarik dari Pemilu 2015 adalah terpilihnya Mhairi Black sebagai anggota parlemen di usianya yang baru menginjak 20 tahun. Hebatnya, Black mampu mengalahkan Douglas Alexander, politisi senior Partai Buruh yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Bayangan di periode sebelumnya.
Pencapaian Black adalah bukti bahwa dalam sistem demokrasi, yang terpenting bukanlah nama besar atau uang yang melimpah, melainkan semangat dan keinginan tulus mengabdi untuk rakyat. Berbeda dengan situasi di Indonesia dimana kesempatan bagi generasi muda untuk berkiprah sebagai politisi masih sulit.
Jikapun ada generasi muda yang telah terpilih menjadi pemimpin daerah ataupun anggota dewan biasanya lebih dikarenakan oleh nama keluarga yang disandangnya, bukan berdasarkan prestasi yang telah dibuatnya untuk rakyat. Lagi-lagi sistem feodalisme memberikan kontribusi terhadap fenomena ini.
Berbagai permasalahan yang ada saat ini seharusnya dapat menjadi pintu masuk bagi generasi muda untuk berkontribusi secara nyata bagi rakyat. Besar harapan di masa depan akan lebih banyak generasi muda yang dicalonkan sebagai anggota dewan maupun pemimpin daerah. Setidaknya generasi muda dapat berkaca dari keberhasilan Black pada Pemilu Britannia 2015.
            Penting kiranya jika Indonesia mampu belajar dari pengalaman Britannia. Sebuah tantangan yang tentunya tidak mudah, namun bukan tidak mungkin untuk diwujudkan. Sebagai langkah awal, poin penting yang harus dikedepankan adalah adanya perubahan mindset para politisi dimana politik bukan semata untuk meraih kekuasaan, tetapi untuk mengabdi demi pembangunan dan kemakmuran rakyat, bangsa, dan negara yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar