Senin, 21 Mei 2012

Pembebasan Keyakinan

Saya telah membuat sejarah. Ya, sejarah. Untuk kali pertama dalam 25 tahun kehidupan, Saya membuat suatu keputusan untuk keluar dari kungkungan tradisi keluarga mengenai urusan agama. Selama ini ketika berbicara soal agama, Saya terikat secara tidak langsung oleh nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan (ritual) yang dijalankan oleh keluarga. Hal ini wajar karena keluarga adalah panutan pertama sekaligus cerminan diri bagi seorang manusia.

Perlu diketahui Saya lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang lebih cenderung mengamalkan nilai-nilai dan ritual-ritual yang diajarkan oleh Nahdhatul Ulama (NU), sebuah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Namun sejak kecil, atau lebih tepatnya TK, Saya belajar di salah satu institusi pendidikan Islam terbesar di Indonesia, yakni YPI Al Azhar. Di Al Azhar pendekatan agama yang diajarkan justru lebih dekat kepada Muhammadiyah, organisasi massa Islam terbesar kedua di Indonesia, walaupun tidak diungkapkan secara eksplisit.

Dalam pelaksanaan ibadah, keluarga Saya sendiri sebenarnya tidak mau terlalu banyak nuntut ini dan itu. Bagi mereka selama Saya menjalankan apa yang wajib, maka tidak menjadi persoalan apabila terjadi perbedaan dalam cara mengamalkannya. Misal, setiap Subuh Ayahanda selalu menggunakan qunut, sedangkan saya tidak. Mengapa terjadi perbedaan? Karena selama sekolah di Al Azhar Saya tidak pernah diajarkan untuk membaca qunut ketika subuh. Keluarga Saya juga tidak pernah menuntut  untuk menggunakan qunut -bahkan Saya tidak diajarkan oleh mereka akan do'a itu. Bagi mereka intinya Saya sholat, selesai.

Disinilah menariknya, sebenarnya kedua unit pembentuk pola pikir dasar Saya akan agama ini tidak berupaya untuk memaksakan kehendaknya, memaksakan doktrin agamanya, memaksakan imannya. Namun hal ini membuat Saya menjadi ragu dan bimbang karena bagaikan hidup di dalam dua tradisi. Tidak sedikit dari tradisi itu yang saling bertentangan karena berbeda dalam penggunaan hadits maupun dalam menafsirkan satu hadits yang sama untuk suatu kasus tertentu. Misal, di keluarga Saya, tradisi tahlilan itu sangat kuat. Padahal dalam Muhammadiyah, perkara tersebut dapat dikategorikan sebagai bid'ah.

Awalnya Saya hanya mengikuti "alur" mengikuti apa yang ada, yang terbiasa, selama tidak bertentangan dengan nurani. Argumentasi yang sering Saya gunakan adalah "yang penting niat dan tujuannya untuk kebaikan." Seperti dalam kasus tahlilan, Saya tetap melakukannya karena diniatkan untuk mendo'akan orang yang sudah meninggal (terlebih apabila yang meninggal itu kerabat) bukan dalam maksud mengkultuskan, apalagi musyrik.

Namun semakin tua, Saya merasa ada yang kurang tepat dengan apa yang selama ini dipikirkan. Ya Saya melakukan simplifikasi persoalan. Saya secara tidak langsung melakukan apologi pemikiran keagamaan. Jika dilihat dari output nilai apa yang Saya lakukan pada dasarnya bisa diterima. Tetapi, yang menjadi persoalannya kemudian adalah terkait dengan proses bagaimana output nilai itu dicapai. Jika hanya melakukan pemikiran yang bersifat normatif, maka hasilnya akan menjadi dangkal. Tidak rasional, tidak empiris, dan tidak ilmiah.

Boleh dikatakan apa yang Saya alami adalah suatu hal yang lumrah terjadi di masyarakat kita yakni melakukan simplifikasi masalah. Dewasa ini masyarakat menyukai hal-hal yang bersifat instan dan kurang ingin dirumitkan oleh hal-hal yang menyulitkan, apalagi hal-hal yang terkesan abstrak layaknya agama, seperti perkara akhirat yang belum terlihat wujudnya. Hasilnya ada beberapa tipikal manusia yang dihasilkan terkait hubungannya dengan pemahaman akan agama:

1) Manusia yang skeptis terhadap agama, mereka enggan memahami agama dan melakukan ritual yang mengiringinya. Mereka menganggap bahwa agama tidak lagi relevan dalam kehidupan -atau setidaknya "membantu" mereka dalam menjalani hidup. Simplifikasi ini didasari oleh adanya dua kemungkinan. Pertama, tradisi agama yang tidak kuat dan melekat dalam diri mereka sedari kecil. Hal ini menyebabkan nilai agama tidak melekat dalam diri mereka. Kedua, adanya kekecewaan dalam diri manusia akan agama. Mereka yang tergabung dalam kelompok ini awalnya beragama, atau setidaknya mengenal agama, tetapi kejadian-kejadian tertentu (negatif) membuat mereka berpaling. Masalahnya kemudian adalah apakah ketika mengalami kejadian-kejadian negatif tersebut, mereka telah melakukan kontemplasi ilmiah dan bukan hanya "melarikan diri dari kenyataan?" Kenyataannya, secara subjektif, Saya melihat banyak sikap skeptisme ini lebih didasari oleh sikap reaksioner yang kemudian terlembagakan dalam diri, bukan didukung oleh suatu hal yang bersifat ilmiah.

2) Manusia yang menjalankan agama dalam konteks budaya. Maksudnya adalah mereka yang beragama lebih karena faktor orangtua, bukan atas dasar kemerdekaan pikir dan gerak. Mereka yang terjebak dalam situasi ini biasanya memiliki kuantitas ibadah, tetapi belum tentu kualitas. Hal ini menandakan bahwa mereka rajin beribadah, tetapi tidak begitu mengerti dan memahami apa yang mereka ibadahkan. Kuat secara tradisi, lemah secara ilmu. Jika ditanya tentang agama, mereka cenderung untuk menjawab sebisanya, semampunya. Bukan tidak mungkin mereka menghindari pertanyaan-pertanyaan kritis dan berapologi, "Itu sudah menjadi perintah Allah, tidak perlu kita pertanyakan lagi, cukup dikerjakan, selesai!" Tipikal no. 2 ini jelas membawa umat pada kejumudan, kekakuan ibadah, dan terpenting tidak mampu memahami esensi dari ibadah itu sendiri. Pada akhirnya karakteristik ibadah mereka dapat disimpulkan dalam satu kata: taklid yang tidak bertanggungjawab.

3) Manusia yang berusaha memahami dan menjalankan agama, namun secara partikular. Dalam masyarakat modern, salah satu isu yang menjadi kunci penting adalah waktu. Masyarakat modern adalah masyarakat yang dituntut. Dituntut berbagai macam persoalan kehidupan, khususnya terkait isu pekerjaan. Dengan alasan pekerjaan, waktu dikambinghitamkan dan pada akhirnya menegasikan, atau setidaknya mengorbankan hal lain, semisal: aktivitas sosial dan agama.

Saya tentu sangat tidak ingin apabila terkategorikan ke dalam satu di antara tiga tipologi di atas. Saya ingin memahami agama secara komprehensif, baik dalam tataran ilmu maupun kesadaran (mental). Setidaknya keberanian Saya untuk berbeda keyakinan dalam hal praktik ibadah dengan keluarga adalah salah satu kunci dasar kemandirian keyakinan. Namun perlu dipahami bahwa perbedaan tersebut tidak boleh hanya sekedar berada di tataran permukaan semata, melainkan harus bisa menyentuh tataran substansi. Jadi jika Saya memutuskan untuk ikut tradisi Muhammadiyah, misalnya, bukan karena  pernah sekolah di Al Azhar yang tradisi Muhammadiyahnya kental, melainkan berdasarkan rasionalitas dan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sebagai penutup, Saya juga berharap agar proses pembebasan ini tidak berhenti pada suatu titik, melainkan harus terus berjalan mengikuti konteks ruang dan waktu. Jangan sampai merasa puas pada suatu kondisi karena hakikat pembebasan yang Saya maksud, seperti yang telah disebut sebelumnya, bersifat komprehensif yang berarti tidak hanya menyentuh dimensi duniawi, melainkan ukhrawi yang saat ini belum dapat dirasakan.

Wallahu'alam bi shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar